Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Sabtu, 29 Januari 2011

Gaji Remunerasi vs Upah Buruh

Sumber :Suara Merdeka & Suara Karya
Oleh: Achmad Fathoni

Terbongkarnya kasus korupsi serakah yang diduga melibatkan Gayus Tambunan membuka kesadaran kritis di tengah masyarakat. Bahwa selama ini anggaran negara banyak terkorupsi oleh para oknum aparat pengelola negara. Gayus Tambunan bagi masyarakat hanyalah "pion" kecil dari mafia korupsi di negeri ini.

Namun, korupsi yang paling memprihatinkan adalah korupsi nilai keadilan. Selama enam tahun terakhir, banyak korupsi nilai keadilan yang dilakukan para pengelola negara. Salah satunya adalah kebijakan remunerasi PNS (pegawai negeri sipil) dengan proyek percontohan Kementerian Keuangan. Proyek remunerasi tersebut setiap tahun membutuhkan dana hampir belasan triliun rupiah sebagai bagian dari program reformasi birokrasi.

Namun kenyataannya, meski sudah digaji tinggi, banyak oknum aparat negara di bawah naungan Kemenkeu tetap memainkan budaya korupsi. Bagi masyarakat, peningkatan gaji tinggi aparat negara--pajak, bea cukai, kejaksaan, dsb--merupakan pencederaan rasa keadilan publik. Bisa ditengok rata-rata UMK buruh di Indonesia hanya 500 ribu-1,4 juta rupiah per bulan.

Padahal, para buruhlah yang ikut andil menggerakkan roda perekonomian negara dan upah mereka dibuat rendah untuk daya tarik investasi asing. Alokasi remunerasi yang menjadi beban berat anggaran negara itu jelas tidak sebanding dengan alokasi untuk BLT (bantuan langsung tunai) masyarakat miskin.

Bukankah ini merupakan indikasi negara gagal menciptakan keadilan ekonomi, gagal mereformasi kultur birokrasi dan gagal mengelola keuangan negara secara transparan?

Artikel ; "Upah layak ; Presiden Versus Buruh"

KORAN TEMPO – Sabtu, 29 Januari 2011

Oleh : Rina Herawati

Berapakah gaji (=upah) yang layak bagi Presiden Indonesia? Pertanyaan ini tampaknya sedang menjadi pekerjaan rumah bagi Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Menteri Keuangan menyatakan (di Tempo Interaktif, 25 Januari 2011) bahwa pada tahun ini, gaji presiden bersama sekitar 8.000 pejabat publik akan dinaikkan. Tetapi, mengenai berapa kenaikannya, itu masih dalam perhitungan, antara lain dengan mempertimbangkan biaya hidup di tiap daerah.

Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Achsanul Qosasi, tampaknya adalah pendukung rencana ini. Achsanul (di Kompas, 26 Januari 2011) membandingkan gaji presiden dengan gaji sejumlah direktur utama badan usaha milik negara. Menurut dia, gaji presiden sekarang kalah oleh gaji sejumlah direktur utama BUMN, padahal direktur utama itu diangkat oleh pemerintah. Gaji presiden selama tujuh tahun terakhir ini “hanya” Rp 62,7 juta per bulan atau setara dengan Rp 752,4 juta per tahun.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk ikut larut dalam perdebatan mengenai “besaran” gaji yang layak bagi presiden. Berapa besarnya, adalah sebuah keputusan politik. Tetapi, sebagai sebuah keputusan politik, masalah timing (saat) juga harus diperhitungkan. Apakah sekarang ini merupakan saat yang tepat untuk menaikkan gaji presiden?

Bahwa gaji presiden lebih rendah daripada gaji Gubernur Bank Indonesia (pada 2006 sebesar Rp 265 juta per bulan) yang secara struktural berada di bawahnya, logika awam pun akan setuju bahwa itu salah. Gaji Presiden seharusnya lebih tinggi daripada gaji Gubernur Bank Indonesia, juga lebih tinggi dibanding semua direktur utama BUMN, dibanding menteri-menteri, dibanding gubernur ataupun bupati. Tetapi apakah kesalahan itu harus dilengkapi dengan kesalahan lainnya, yaitu menaikkan gaji presiden pada saat ini?

Upah buruh

Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menaikkan gaji presiden. Mengapa tidak? Setidaknya ada dua hal yang selayaknya dipertimbangkan oleh pemerintah. Pertama, saat ini di Indonesia masih ada 31,02 juta penduduk miskin dengan perhitungan garis kemiskinan Rp 200.262 per bulan atau setara dengan Rp 2,4 juta per tahun (sekitar US$ 0,5 per hari). Bagi rakyat dalam kelompok ini, percayalah, sungguh menyakitkan mengikuti perdebatan mengenai kenaikan gaji presiden yang sekarang “hanya” Rp 752,4 juta per tahun.

Kedua, tenggelam dalam hiruk-pikuk perdebatan kenaikan gaji presiden, sejak Desember 2010 hingga saat ini, Januari 2011, ribuan bahkan ratusan ribu buruh sedang berjuang agar perusahaan tempatnya bekerja mau melaksanakan UMK (upah minimum kabupaten/kota) yang telah ditetapkan pada Desember 2010, yang besarnya rata-rata Rp 1 juta per bulan, atau Rp 12 juta per tahun. Untuk wilayah Jawa Barat, UMK terendah adalah Kota Banjar dengan Rp 732 ribu per bulan, sedangkan UMK tertinggi adalah Kota Bekasi sebesar Rp 1,275 juta per bulan.

Selama ini, besaran UMK ditetapkan oleh Dewan Pengupahan di masing-masing kota/kabupaten. Dewan pengupahan ini terdiri atas unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh. Salah satu alat untuk menentukan besaran UMK adalah survei pasar atas harga kebutuhan pokok. Namun, pada akhirnya, nilai UMK adalah hasil tawar-menawar di antara ketiga pihak tersebut, sehingga banyak pengamat yang menyatakan bahwa UMK tidak lain adalah produk politik.

Apakah UMK sebesar Rp 1 juta per bulan (= Rp 12 juta per tahun) itu layak bagi buruh? Sebelum menjawab ini, satu hal yang pasti, UMK itu masih jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita per tahun rakyat Indonesia, yang besarnya sekitar $ 3.000 pada 2010 (sumber: BPS). Untuk buruh lajang yang tidak memiliki tanggungan, UMK itu besarnya hanya 44 persen dari rata-rata pendapatan per kapita per tahun. Sedangkan bagi buruh yang sudah menikah dan memiliki dua anak, UMK itu besarnya hanya 11 persen dari rata-rata pendapatan per kapita. Apa artinya? Artinya, taraf penghidupan buruh di Indonesia sangat jauh di bawah rata-rata taraf penghidupan rakyat Indonesia. Angka itu sekaligus menunjukkan lebarnya kesenjangan tingkat kesejahteraan antara kelompok kaya dan kelompok miskin (termasuk buruh di dalamnya).

Lalu, berapa upah yang layak bagi buruh? Penelitian AKATIGA-Pusat Analisis Sosial Bandung dengan Serikat Pekerja Nasional (SPN) pada 2009 memperlihatkan bahwa upah layak bagi buruh lajang adalah Rp 2,45 juta per bulan atau Rp 29,4 juta per tahun. Sedangkan rata-rata upah layak (untuk lajang dan berkeluarga) sebesar Rp 4,07 juta per bulan atau Rp 48,84 juta per tahun. Bandingkan dengan gaji presiden saat ini sebesar Rp 752,4 juta per tahun. Upah layak buruh itu hanya 6,5 persen dari gaji presiden saat ini.

Apa yang menjadi ukuran layak bagi buruh? Penelitian AKATIGA-Pusat Analisis Sosial Bandung dengan SPN mengusulkan ukuran layak (=KHL = kebutuhan hidup layak) yang “agak” lebih maju dibandingkan dengan ukuran KHL yang selama ini digunakan oleh Dewan pengupahan untuk menentukan UMK. Selama ini penentuan KHL mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-17/Men/VIII/2005 yang di dalamnya termuat 46 komponen KHL. Sedangkan AKATIGA dan SPN mengajukan 79 komponen tambahan untuk menghitung KHL dan perubahan kualitas komponen. Komponen tambahan itu antara lain biaya pendidikan anak (berupa pembayaran SPP, pembelian baju seragam, buku pelajaran dan biaya transportasi ke sekolah), sebab, siapa bilang sekolah itu gratis? Sedangkan perubahan kualitas komponen KHL antara lain adalah perubahan dari sewa kamar sederhana yang diubah dengan pembelian secara kredit rumah sederhana tipe 27/72. Apabila kebutuhan-kebutuhan itu terpenuhi, bolehlah buruh disebut hidup layak. Sekarang ini, dengan upah rata-rata Rp 1 juta per bulan, kehidupan buruh masih jauh dari layak.

Kepantasan

Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Achsanul Qosasi, (Kompas, 26 Januari 2011) mengatakan bahwa masih banyaknya rakyat miskin di Indonesia tak bisa dijadikan alasan untuk tak menaikkan gaji presiden. Semoga Menteri Keuangan Agus Martowardojo tidak berpikir demikian. Alangkah bijaksananya bila saat ini pemerintah lebih berfokus pada upaya meningkatkan taraf hidup penduduk miskin (dan bukan sekadar menurunkan angka kemiskinan yang secara kasar dilakukan dengan menurunkan garis kemiskinan yang idealnya US$ 2 per hari menjadi US$ 0,5 per hari).

Pemerintah juga harus terus berupaya memperluas lapangan kerja tanpa mengorbankan upah buruh yang sudah rendah. Apabila kedua soal tersebut sudah bisa diatasi, bolehlah kita mendiskusikan berapa gaji (=upah) yang layak untuk presiden.

Rina Herawati, Peneliti perburuhan di Akatiga- Pusat Analisis Sosial Bandung

~ oleh kp2kknjateng pada Januari 29, 2011.

Kamis, 27 Januari 2011

SPN : Ganti Upah Minimum ke Upah Layak

Sumber : Pos Kota Malang
Senin, 24 Januari 2011 - 9:42 WIB

MALANG (Pos Kota) – Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (SPN) mendesak pemerintah agar tahun depan tidak lagi menggunakan ketentuan kenaikan upah berdasarkan upah minimum, tetapi berdasarkan upah layak.

Ketua Umum SPN Bambang Wirahyoso mengungkapkan, penggunaan ketentuan upah minimum yang berlaku saat ini sudah bergeser dan banyak diselewengkan oleh pengusaha, sehingga merugikan bagi orang yang sudah bekerja puluhan tahun.

“Upah minimum seharusnya diberlakukan bagi pekerja baru. Tapi sekarang banyak diberlakukan untuk semua pekerja, sehingga tidak ada lagi penghargaan bagi pekerja yang memiliki jenjang karier. Tahun depan hal ini harus diubah,” kata Bambang saat menyampaikan rekomendasi hasil Majelis Nasional II DPP SPN kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi A. Muhaimin Iskandar, kemarin.

Menanggapi permintaan tersebut, Muhaimin menegaskan pemerintah dan lembaga Tripartit Nasional memang terus berupaya untuk mencari pola system pengupahan yang tidak merugikan semua pihak.

Untuk mendapatkan pola ketentuan upah yang tepat tersebut, Muhaimin menawarkan kalangan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha melakukan survei langsung, begitu juga dengan pemerintah.

“Hasil survei dari serikat pekerja, asosiasi pengusaha dan pemerintah nantinya dianalisa dan dipelajari, sehingga didapat pola yang tepat yang menguntungkan kedua belah (pekerja/pengusaha) yang dapat diterapkan dalam menentukan kenaikan upah pekerja setiap tahunnya,” jelas Menakertrans. “Untuk biaya survey, pemerintah akan membantu.”

Namun ia mengingatkan kedua belah pihak (pekerja dan pengusaha) untuk saling terbuka dan obyektif. Maksudnya pekerja harus mau mengerti kondisi keuangan dan pertumbuhan perusahaan, sementara pengusaha juga harus mengerti kebutuhan kesejahteraan pekerjanya.

“Jika ada saling keterbukaan dan pengertian diantara kedua belah pihak, Saya yakin, tidak akan ada keributan dalam penentuan kenaikan upah,” ujarnya.(tri/dms)

Buruh Rokok Belum Terima UMK Rp 840.000

Sumber : Kompas.com
Senin, 24 Januari 2011 | 19:52 WIB

KUDUS, KOMPAS.com - Buruh rokok yang bekerja di beberapa perusaahaan rokok di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, belum menerima bayaran sesuai dengan upah minimum kabupaten (UMK) 2011 sebesar Rp 840.000 per bulan.

"Berdasarkan temuan di lapangan, kami menemukan adanya pelanggaran terhadap SK Gubernur Jateng Nomor 561.4/69/2010 tentang UMK 2011 yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan rokok di Kudus yang belum memenuhi upah sesuai ketentuan UMK 2011," kata juru bicara Aliansi Serikat Buruh dan Elemen Masyarakat Peduli Buruh Kudus, Slamet Machmudi, Senin (24/1/2011).

Buruh rokok yang menerima upah di bawah UMK 2011, katanya, yakni buruh giling dan batil (kerapian). Sistem pengupahan buruh giling dan batil dilakukan secara borongan, per 1.000 batang rokok dihargai Rp 13.500 yang dibagi dua yakni Rp 8.100 untuk buruh giling dan Rp 5.400 buruh batil. Berdasarkan ketetapan Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), standar atau kecepatan buruh giling bersama buruh batil rokok yang bekerja selama satu hari kerja yakni tujuh jam kerja, rata-rata buruh tersebut bisa menghasilkan 4.000 batang rokok.

"Jika diakumulasi, dalam sehari selama tujuh jam bekerja mendapatkan upah Rp 54.000, yang dibagi secara proporsional untuk buruh giling rokok Rp 32.400 per hari dan buruh batil Rp 21.600 per hari," ujarnya.

Ia mendesak pihak Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kudus segera memanggil dan menglarifikasi beberapa perusahaan terkait dengan kekurangan upah yang diterima para buruh borong rokok Kudus.

Apalagi, penentuan UMK 2011 Kudus berdasarkan atas kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditetapkan melalui survei pasar yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten beranggotakan tripartit antara pemerintah, SPSI dan Apindo.

"Tidak ada alasan bagi para pengusaha rokok di Kudus untuk tidak menaati komitmen yang dibuat secara tripartit," ujarnya.

Ia mengatakan, UMK untuk semua buruh yang memiliki masa kerja minimal kurang dari setahun. "Status buruh borongan, harian atau bulanan hanyalah klasifikasi cara pengupahannya. Semua buruh berhak memperoleh upah sesuai UMK, walaupun berstatus sebagai buruh borongan," ujarnya.

Alasan penghasilan buruh borong ditentukan oleh satuan hasil kerja, tidak bisa dijadikan alasan buruh borong digaji di bawah aturan pemerintah.

Ia berharap, tim pemantau UMK 2011 yang dibentuk Dinsosnakertrans Kudus harus jujur dalam laporannya.

Kasus kurangnya upah yang dialami buruh borong rokok di sejumlah perusahaan rokok di Kudus, katanya, berjalan cukup lama.

"Dinsosnakertrans Kudus harus tegas terhadap pengusaha yang enggan melaksanakan pembayaran sesuai UMK 2011. Jika memang ada perusahaan yang tidak mampu melaksanakan pembayaran UMK 2011 seharusnya mengajukan penundaan upah UMK 2011 dengan melaporkan neraca untung rugi perusahaan," ujarnya.

Kepala Dinsosnakertrans Pemerintah Kabupaten Kudus, Noor Yasin, ketika dihubungi lewat telepon untuk dimintai tanggapannya soal upah yang diterima buruh giling dan batil yang masih dibawah UMK belum ada tanggapan.

Rabu, 26 Januari 2011

Ribuan Pekerja PT SAI APPAREL Mogok

Kapanlagi.com - Sekitar 11.000 pekerja PT Sai Apparel Semarang, Selasa mogok kerja di kompleks perusahaan dengan tuntutan pengembalian bonus, uang makan, uang transpor dan cuti haid yang dihapus.

Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Baryadi yang mendampingi para pekerja mengatakan, sebelumnya pada awal Januari 2008 PT Sai Apparel telah menghapus uang kerja gilir yang seharusnya diterimakan kepada karyawan.

Selanjutnya pada Juli 2008 uang makan sebesar Rp1.750 dipotong 50% menjadi Rp850 per hari, bahkan rencananya akan dihapuskan.

"Selain itu, premi sebesar Rp20.000 rencananya akan dihapuskan mulai Oktober 2008, katanya.

Salah seorang pekerja, Haryanti mengatakan aksi tersebut sebagai bentuk kekesalan karyawan terhadap perusahaan yang bersikap semena-mena.

Kebijakan perusahaan yang bergerak di bidang konveksi ini dinilai oleh mereka sama dengan penyiksaan terhadap pekerja yang selama ini sudah bekerja secara profesional.

"Penghapusan bonus misalnya, kami tidak bisa menerima kebijakan tersebut, karena otomatis kami hanya akan menerima gaji pokok. Ini membuat kami tidak semangat lagi dalam bekerja. Oleh karena itu, kami minta keadilan," katanya.

Setelah melakukan aksi mogok dan pekerja berorasi di depan kantor perusahaan, perwakilan pekerja diterima dan diajak bernegosiasi dengan pihak perusahaan.

Hasil negosiasi disepakati uang premi atau bonus bulanan tidak jadi dihapus.

Manager Accounting PT Sai Apparel Ganesh mengatakan premi tetap akan dibayarkan kepada karyawan yang selama satu bulan penuh tidak absen.

Uang makan yang akan dihapuskan, dan juga cuti haid selama dua hari, akan dinegosiasikan lagi.

"Saya tidak bisa memutuskan hal itu sekarang karena perlu dirapatkan lagi dengan divisi yang ada di Jakarta," katanya.

Rencananya Rabu (29/10) negosiasi lanjutan akan dilakukan antara pihak PT Sai Apparel, SPN dan perwakilan karyawan, serta akan dihadiri pula perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang. (kpl/rif)

"Air Asin" Kebutuhan Hidup Layak Buruh

Sumber : Kompas
Editor: Erlangga Djumena
Rabu, 26 Januari 2011 | 08:13 WIB

KOMPAS.com — Komentar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal gaji tak naik selama tujuh tahun yang disampaikan di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, pekan lalu, memang ampuh. Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, Selasa (25/1/2011), langsung merespons dan menyampaikan, pemerintah bakal menaikkan gaji sedikitnya 8.000 pejabat pemerintah dari pusat sampai ke daerah. Tentu saja presiden yang kini bergaji Rp 62 juta per bulan ikut di dalamnya.

Terlepas dari beragam komentar yang beredar, kita menyayangkan tanggapan kenaikan gaji Presiden dengan mengaitkan nasib buruh relatif sedikit. Padahal, buruh formal kini semakin menciut dan peluang mereka yang masuk ke kelompok miskin meningkat karena degradasi kualitas hidup.

Hasil pemantauan upah minimum provinsi (UMP) oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi per 22 Desember 2010, dari 33 provinsi, hanya Lampung, Sulawesi Barat, dan Papua sedang dalam proses penetapan gubernur.

Adapun Maluku Utara masih dalam pembahasan dewan perwakilan rakyat daerah. Sementara Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah tidak menetapkan UMP sehingga pemerintah pusat mengambil data penetapan upah minimum kabupaten/kota terendah di ketiga provinsi tersebut.

Berbicara tentang nasib sedikitnya 33,8 juta buruh formal dari 116,5 juta angkatan kerja tahun 2010, memang tidak terlalu menarik. Para elite politik, baik di eksekutif maupun legislatif, baru fasih berbicara kesejahteraan buruh saat pemilihan umum. Tetapi, saat buruh meminta mereka lebih membumi memperjuangkan penetapan upah minimum di atas kebutuhan hidup layak (KHL) dan inflasi, pengambil kebijakan lebih banyak diam.

Dari 29 provinsi yang sudah memiliki UMP tahun 2011, baru delapan provinsi yang menetapkan lebih dari 100 persen KHL. Kondisi ini memprihatinkan. Apalagi jika kita melihat nilai filosofis upah minimum yang bertujuan menjadi jaring pengaman bagi pekerja lajang dengan masa kerja maksimal 1 tahun. Sampai kini, masih banyak pengusaha yang menggaji pekerja pemilik masa kerja bertahun-tahun dengan upah minimum.

Bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan dasar dengan tingkat kenaikan gaji yang lebih kecil dari inflasi. Kalau kondisi ini terus terjadi, bagaimana mereka bisa meningkatkan taraf hidup, menyekolahkan anak, berobat ke dokter saat sakit, sampai memiliki rumah sendiri yang layak. Buruh formal harus bekerja keras melebihi delapan jam kerja demi mengejar upah lembur. Anak-anak buruh terpaksa berhenti sekolah dan meneruskan kemiskinan karena sedikitnya 40 persen upah orangtua mereka terkuras untuk biaya transportasi dan kontrakan.

Buruh harus berjuang bertahan hidup dari gaji yang kian tak bertenaga menghadapi kenaikan harga beras, cabai rawit merah, minyak goreng, sampai biaya kesehatan. Pemerintah seperti tak memberikan banyak pilihan bagi buruh karena lapangan kerja baru tak bertumbuh dan pengusaha kian gemar memakai buruh kontrak.

Berbicara remunerasi pejabat ibarat minum air laut yang asin. Semakin banyak mereka menikmati, kian haus rasanya. Sementara buruh, harus hidup menahan lapar. (Hamzirwan)

Minggu, 23 Januari 2011

Muhaimin Disambati Dana Pensiun Pekerja

Sumber : Malang Post
Sabtu, 22 Januari 2011 13:14

KOTA BATU terus menjadi jujugan pejabat nasional seperti setingkat menteri. Setelah Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih hadir di Hotel Purnama, Jumat (21/1), giliran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar datang di penutupan Rapat Majelis Nasional Serikat Pekerja Nasional (Majenas SPN) di Hotel Aster, Sabtu (22/1).
Muhaimin pun disambati masalah perburuhan, yang hingga sekarang tidak ada solusi. Antara lain soal tunjangan hari tua, dan dana pensiun kepada para pekerja atau buruh yang belum dirasakan secara mayoritas.
‘’Masalah tunjangan hari tua dan pensiun, merupakan salah satu rekomendasi kami dalam Majenas SPN. Rekomendasi tersebut kami berikan kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, agar pemerintah memberikan solusinya,’’ ungkap Bambang Wirahyoso, Ketua Umum DPP SPN kepada Malang Post, kemarin.
Menurutnya, tunjangan hari tua tidak sama dengan pensiun. Tunjangan hari tua diterima pekerja saat memasuki pensiun pada usia 55 tahun. Sedangkan dana pensiun diterima pekerja selamanya, sejak masa pensiun tiba. Hal itu juga mengacu kepada pegawai negeri dengan mendapatkan taspen dan dana pensiun.
‘’Buruh juga membayar pajak kepada negara. Sudah waktunya mereka mendapatkan kesejahteraan seperti ini,’’ tambah pria kelahiran Bandung, Jawa Barat ini.
Selain itu, SPN juga merekomendasikan pekerja layak mendapatkan fasilitas jamsostek. Dari data yang ada, jumlah pekerja formal (pegawai pabrik atau perusahaan) mencapai 30 juta orang. Sampai sekarang, pekerja yang sudah mendapatkan fasilitas jamsostek masih 9,2 juta orang.
‘’Perempuan juga belum banyak mendapatkan hak-hak. Misalnya mereka belum bisa mendapatkan cuti hamil atau menyusui yang layak. Sedangkan UMR selama ini juga belum menjadi upah layak,’’ tambahnya.
Sementara Muhaimin Iskandar sangat merespon keluhan yang dirasakan pekerja atau rekomendasi dari SPN itu. Menurutnya, sinergi antara pemerintah dengan berbagai pihak seperti Serikat Pekerja harus lebih tinggi.
‘’Pemerintah sudah memberikan aturan-aturan, dan semuanya demi peningkatan kesejahteraan pekerja. Namun lagi-lagi pengawasan masih lemah sehingga kesejahteraan sesuai harapan belum bisa terwujud. Kami meminta SP semakin bersinergi dengan pemerintah untuk pengawasan itu,’’ ungkap Muhaimin. (feb/lyo)

Senin, 17 Januari 2011

Kriminalisasi Ketua Serikat Buruh PT San Yu

Ketua Serikat Pekerja PT San Yu Semarang ditahan. Upaya membungkan perjuangan serikat buruh.

* Andhika Puspita / Angga Haksoro
* 13 Januari 2011 - 16:43 WIB

VHRmedia, Semarang– Jauh di dalam ruangan penjara, Nurimah melambaikan tangan. Mengintip dari celah nako, puluhan kawannya berjejalan berteriak memberikan dukungan.

“Nurimah harus kuat, karena kekuatan Nurimah kekuatan kami juga. Teruslah berjuang, karena perjuanganmu perjuangan kami juga,” teriak Dian, anggota serikat pekerja, Kamis (13/1).

Nurimah Ketua Serikat Pekerja PT San Yu Frame Moulding Industries. Dia ditahan di LP Bulu Semarang sejak Desember 2010 dengan tuduhan memukul Suryani, teman sepabrik, 6 tahun lalu.

Nurimah dan Suryani terlibat perkelahian. Sejumlah saksi melihat mereka saling pukul. Suryani mengadukan kasus tersebut ke polisi karena dipaksa manajemen perusahaan. ”Jika tidak lapor, saya dipecat,” kata Suryani.

”Ini aneh. Kasusnya terjadi tahun 2006 tapi diproses tahun 2010. Ini intimidasi agar buruh tidak berani berserikat. Sejak dulu buruh PT San Yu dilarang berserikat,” ujar Asep Mufthi, pengacara LBH Semarang.

Manajemen perusahaan ”gerah” melihat perjuangan Nurimah memimpin mogok buruh pada 12 Januari 2010. Para buruh menuntut perusahaan membayar upah. Intimidasi dan mutasi kerja tak menciutkan nyali Nurimah.

Nurimah pernah melaporkan perlakuan buruk manajemen perusahaan. Bukan laporan Nurimah yang direspons, polisi justru menindaklanjuti laporan manajemen perusahaan soal pemukulan terhadap Suryani.

Koordinator Trade Union Rights Centre, Dela Feby Situmorang, mengatakan pasal karet ”masih laku” digunakan untuk menjerat aktivis serikat buruh. ”Di Jakarta, dari sepuluh kasus sengketa ketenagakerjaan, delapan buruh dikriminalisasi. Mereka dipaksa mundur tanpa pesangon dan kasusnya berhenti. Ini upaya menghentikan serikat buruh,” katanya.

Nurimah sudah sebulan ditahan di LP Bulu dan menjalani 4 kali sidang. Dalam sidang 17 Januari mendatang, hakim memanggil manajemen PT San Yu untuk memberikan kesaksian. (E1)

Foto: Demo dukung Nurimah di LP Bulu (VHRmedia/Andhika Puspita)

Puluhan Buruh Geruduk PN Semarang

Senin, 17 Januari 2011 - 11:28 wib
Nugroho Setyabudi - Okezone
Demonstrasi dukungan untuk Ketua Serikat Pekerja PT San Yu. (Foto: okezone)

SEMARANG - Puluhan buruh yang berasal dari berbagai perusahaan mendatangi Pengadilan Negeri Semarang untuk memperjuangkan nasib Ketua Serikat Pekerja PT San Yu Semarang, Nurimah.

Menurut koordinator lapangan (Korlap) aksi, Prabowo, Nurimah merupakan korban rekayasa kriminal. “Banyak keanehan yang terjadi terkait penahanan Nurimah. Bila ini dibiarkan maka kebebasan berserikat di setiap perusahaan akan dikebiri. Kami akan melakukan aksi mogok produksi jika apa yang mereka sampaikan tidak mendapat tanggapan,” tegas Prabowo di PN Semarang, Senin (17/1/2011).

Nurimah dilaporkan oleh Suryani, rekan sekerjanya di PT San Yu pada 2006 silam dengan tuduhan penganiayaan. Kasus ini sudah diselesaikan dengan cara damai. Namun pada 2010, Suryani melaporkan kembali kasus ini ke Polsek Ngawiyan, Semarang. Belakangan Suryani baru mengakui bahwa inisiatif laporan bukan dari dirinya, melainkan atas dorongan pihak perusahaan konveksi itu.

Suryani sendiri hadir di aksi ini untuk meminta hakim untuk membebaskan Nurimah dari segala tuduhan. “Saya sebagai saksi pelapor akan berusaha meminta hakim untuk membebaskan Nurimah dengan cara mengirimkan surat kepada hakim. Apa yang terjadi dengan saya dan Nurimah penuh dengan rekayasa. Hati saya merasa sakit juga melihat Mbak Nurimah dikurung,” tuturnya.

Sambil berorasi dan membentangkan spanduk yang isinya permintaan pembebasan Nurimah, mereka menunggu persidangan dimulai. Aksi dimulai sejak pukul 09.30 WIB.
(ton)

Kamis, 13 Januari 2011

Tuntut Nurimah Bebas, Puluhan Orang Geruduk LP Wanita

Sumber: Suara Merdeka
Tanggal:13 Januari 2011

Semarang, CyberNews. Sekitar 40 orang dari berbagai LSM dan SP/SB yang menamakan diri Solidaritas untuk Nurimah menggeruduk Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Bulu, Kamis (13/1). Mereka menuntut dibebaskannya Nurimah, Ketua Serikat Pekerja di PT San Yu Frame Moulding Industries yang ditahan sejak Desember 2010 lalu.

Begitu sampai di LP Bulu sekitar pukul 11.00, massa langsung menggelar mimbar bebas di depan gerbang. Bermacam poster diacung-acungkan. Di antaranya bertuliskan "Bebaskan Nurimah Sekarang Juga" dan "Hentikan Kriminalisasi Pengurus Serikat Buruh".

Aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Asep Mufthi, mengatakan, kedatangan mereka sebagai dukungan moril untuk Nurimah. Selain itu juga mengajak masyarakat untuk bersimpati pada kasus Nurimah. "Kasus ini banyak kejanggalan, pelapornya ditekan perusahaan jadi penegak hukum harus membebaskan Nurimah," katanya.

Seperti diketahui, Nurimah adalah terdakwa kasus dugaan penganiayaan atas Suryani, rekan kerjanya di PT San Yu. Dalam persidangan, baik Nurimah maupun Suryani mengakui terjadinya pemukulan. Namun kejadiannya sudah 5 tahun lalu pada Juni 2006.

Suryani yang sudah melupakan kejadian itu terpaksa melapor ke polisi karena ditekan perusahaan. "Jika tidak lapor, saya akan dipecat," kata Suryani waktu itu.

"Kami menilai Nurimah sengaja disingkirkan perusahaan, karena aktivitasnya sebagai pimpinan serikat buruh dirasa membahayakan," tambah Ketua Jaringan Kerja Buruh, Prabowo.

Aksi berlangsung damai dengan penjagaan ketat aparat keamanan hingga pukul 12.00.

( Anton Sudibyo / CN16 / JBSM )