Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Senin, 27 Juni 2011

RUU BPJS dan Perangkap Neoliberal

Senin, 27 Juni 2011 20:06 WIB | 576 Views

Jakarta (ANTARA News) - Semakin lama semakin jelas ada agenda neoliberal dalam pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) karena disinyalir sejak lama ada perebutan pengaruh antara World Bank, IMF, ADB dan lembaga keuangan global lainnya dengan ILO.

Lembaga keuangan global ini tentu melihat program jaminan sosial sebagai arena permainan mesin finansial, sedangkan ILO lebih menjalankan program proteksi sosial-ekonomi terhadap pekerja.

Lolosnya konsep dua BPJS yang disodorkan Kemkeu dan dibahas dalam Panja RUU BPJS memastikan terlibatnya kekuatan neoliberal dalam merumuskan skenario format masa depan jaminan sosial di Indonesia.

Mungkin pada saat pembahasan RUU BPJS merupakan saat yang tepat yang sudah lama ditunggu oleh antek neoliberal untuk menghancurkan empat BPJS. (PT Jamsostek, PT Taspen, PT Askes dan PT Asabri).

Implementasi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang seharusnya berpijak pada desain program, perluasan cakupan dan mekanisme pembiayaan justru berujung pada usaha-usaha delegitimasi secara sistematis terhadap empat BPJS.

Secara cerdas, agen neoliberal ini meracuni kaum sosialis dungu yang tidak paham akar sejarah, ideologi dan konteks jaminan sosial, baik praktik jaminan sosial di level nasional maupun pertarungan ideologis jaminan sosial di tingkat global.

Bagaimana mungkin penyelenggaraan jaminan sosial akan ditarik dari otoritas Negara padahal kita mengetahui akar historis jaminan sosial justeru karena faktor kegagalan pasar (market failure), bahkan sistem kapitalisme bisa bertahan karena ditopang oleh sistem jaminan sosial yang dapat melindungi buruh dari eksploitasi kaum pemodal.

Namun, mereka yang ingin melaksanakan SJSN mendesak agar negara bertanggung jawab atas pembiayaan jaminan sosial, tapi anehnya mereka menuntut agar negara tidak bertanggung jawab dan melepaskan otoritas dalam penyelenggaraannya.

Bayangkan saja, di negara-negara kampiun neoliberal, AS dan Inggris, penyelenggara jaminan sosial tetap diposisikan di tangan Negara. Karena itu, di semua belahan dunia, jaminan sosial merupakan benteng terakhir dari kedaulatan ekonomi politik suatu bangsa.

Namun, di Indonesia, tampaknya kaum sosialis "dungu" telah diperdaya kaum neoliberal, dengan menyediakan proteksi dasar oleh negara dengan cara yang tidak lazim yaitu membongkar empat BPJS ke arah yang tidak jelas, dengan mengabaikan desain program dan pembiayaan yang tidak terjangkau.

Ketika negara telah mengucurkan program jaminan kesehatan masyarakat, layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, tetapi dinilai salah dan bukan jaminan sosial padahal jaminan sosial itu terdiri dari asuransi sosial dan bantuan sosial, dimana kedua program jaminan sosial ini secara administratif dan finansial dipisahkan.

Saya yakin, perubahan bentuk kelembagaan BPJS hanyalah sasaran antara, tujuan sejati-nya adalah hilangnya otoritas negara dalam jaminan sosial, bahkan kalau bisa BUMN penyelenggara jaminan sosial itu bisa lepas dan terkapar kemudian dikuasai asing seperti Indosat, pertambangan, perbankan, telekomunikasi, perkebunan dan industri strategis lainnya.

Saya hanya ingin mengingatkan ada "sponsor" dan "donator" asing dari kekuatan neoliberal sejak dalam pembuatan UU SJSN, dan sesungguhnya sudah puluhan tahun pasar jaminan sosial di Indonesia diincar oleh kekuatan neoliberal.

Tentu saja, agen neoliberal itu bertebaran baik di pejabat pemerintah, anggota parlemen, aktivis serikat pekerja, aktivis LSM, intelektual, pengusaha. Dalam kasus RUU BPJS, sangat kelihatan jelas, seorang pejabat Kemkeu telah menelikung dengan mendikte dan menjadi juru bisik tunggal dalam Tim Pemerintah yang sejak awal telah membawa konsep konsultan asing.

Regulasi empat BPJS yang sudah berjalan baik dan terbukti unggul terus dikritik dan dibenturkan dengan status badan hukum yang harus non-BUMN. Mereka tidak malu, meskipun setiap saat sudut pandangnya berubah-ubah terus.

Kemarin, mereka bilang status badan penyelenggara adalah wali amanat, hari ini berubah menjadi badan hukum publik, besok seperti bank sentral, lusa seperti LPS dan LPEI. Padahal di dunia ini hanya dikenal ada dua bentuk badan penyelenggara jaminan sosial, yaitu lembaga pemerintah (kementerian) atau dikelola secara korporasi.

Jadi status badan hukum BUMN justru sangat tepat dan relevan karena mengakomodasi dua model penyelenggaraan jaminan sosial, dan terbukti telah melayani peserta dengan baik, memberi benefit yang bagus kepada peserta, kinerja dan pengelolaan dana yang sustainable, menjalankan praktek good governance dan tidak memberatkan anggaran Negara.

Salah satu prinsip dalam pengelolaan dana jaminan sosial adalah bersifat prudent (kehati-hatian) dan menghindari risiko.

Namun pada pembahasan RUU BPJS, prinsip tersebut dijadikan badan hukum BPJS seperti "trial and error" walaupun implementasi UU SJSN harus disinkronkan dan diharmonisasikan terlebih dahulu dengan peraturan perundangan lainnya, tetap saja diabaikan bahkan ketika UU SJSN masih terus diuji (judicial review) ke MK, agen neoliberal dan kaum sosialis "dungu" maju terus tak peduli.

Apabila RUU BPJS yang saat ini digodok Pemerintah dan DPR bermaksud melebur empat BPJS pasti menimbulkan gejolak dan dampak sistemik yang luar biasa dalam perekonomian nasional, dan akan mengarah pada ketidakpastian dan ketidakpercayaan publik terhadap BPJS.

Situasi "chaos" dalam proses transformasi akan dipelihara, dan pada saatnya, kekuatan neoliberal akan memberi jalan yang lapang dan leluasa kepada sektor privat berskala global untuk menguasai pasar jaminan sosial yang tidak lagi diurusi Negara.

Kita akan menyaksikan sebuah tragedi reformasi jaminan sosial yang jauh melenceng seperti yang diamanatkan konstitusi. Kalau boleh mengutip kata-kata Vladimir Putin, mereka yang mau menghancurkan empat BPJS itu tidak punya hati, dan jika pemerintah dan parlemen mau juga menghabisi empat BPJS berarti tidak punya kepala.(***)

*Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN

Sabtu, 25 Juni 2011

KESEJAHTERAAN RAKYAT : RUU BPJS Buatan Asing

Sumber : Suara Karya Online

JAKARTA (Suara Karya): Reformasi pelaksanaan jaminan sosial harus sesuai dengan tujuan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tepatnya memperluas cakupan untuk masyarakat yang selama ini belum terlindungi program jaminan sosial.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (FSP BUMN) Abdul Latif Algaff mengatakan, badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) harus di bawah otoritas negara. Jika tidak, maka bertentangan dengan tujuan diimplementasikannya program jaminan sosial. Untuk itu, pemerintah dan DPR diharapkan bisa mempertimbangkan berbagai aspek dalam membahas rancangan Undang-Undang (RUU) tentang BPJS sebagai pelaksanaan UU SJSN.

"Pelaksanaan jaminan sosial harus sesuai dengan tujuannya melindungi seluruh warga negara. Jadi, pemerintah dan DPR sebaiknya fokus untuk membentuk BPJS bagi masyarakat yang belum terlindungi program jaminan sosial," katanya dalam seminar nasional bertajuk "Menatap Reformasi Jaminan Sosial di Indonesia" di Jakarta, Kamis (23/6).

Menurut dia, konsep dua BPJS dalam RUU BPJS yang diajukan Kementerian Keuangan dan sudah dibahas dengan DPR merupakan produk konsultan asing. Konsepnya sangat tidak layak untuk diterapkan di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah, DPR, dan kalangan pekerja/buruh perlu mewaspadai kekuatan neoliberal asing yang ingin mengambil pangsa pasar pengelolaan jaminan sosial di Indonesia.

Konsep transformasi dan peleburan empat BPJS yang ada saat ini, yakni PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri, lanjutnya, sangat berbahaya. Upaya ini berpotensi menimbulkan dampak sistemik yang luar biasa bagi perekonomian nasional. Selain itu, peserta, khususnya pekerja/buruh, tidak akan percaya kepada lembaga pemerintah untuk mengelola program jaminan sosial.

"Jadi, pembentukan BPJS baru yang fokus pada masyarakat miskin serta tidak mampu merupakan opsi kebijakan yang tepat dan rasional. Pemerintah dan DPR justru jangan membuat keresahan di kalangan pekerja dan masyarakat terkait pelaksanaan jaminan sosial," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, pengamat jaminan sosial Sulastomo mengatakan, pemerintah dan DPR masih membahas bentuk BPJS yang akan melaksanakan SJSN. Memang dalam kondisi saat ini, keputusan penentuan bentuk BPJS yang ideal memang tidak mudah. Sebab, BPJS harus sesuai dengan realitas yang ada, termasuk menyangkut hak peserta dan aset/kekayaan empat BPJS yang ada saat ini.

"Penyelenggaraan program jaminan sosial yang konprehensif dan mampu mencakup seluruh penduduk, juga bukan tugas yang mudah. Tidak sekali jadi. Karena itu, harus dilakukan secara bertahap dan penuh kehati-hatian," katanya.

Menurut dia, polemik pembahasan RUU BPJS antara pemerintah dan DPR serta pemangku kepentingan lainnya sebenarnya merupakan perdebatan lama yang terjadi ketika UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dipersiapkan. Ini dikarenakan bentuk BPJS yang ideal sarat dengan subjektivitas dan terkadang sulit dipertemukan. Namun, bentuk BPJS yang ideal itu semestinya seperti yang ada dalam UU SJSN.

Sementara itu, Dewan Penasihat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban mengatakan, hingga saat ini komitmen politik pemerintah dalam melaksanakan jaminan sosial memang belum kuat. Terkait kepesertaan pekerja dalam program jaminan sosial, hingga saat ini ribuan perusahaan, termasuk BUMN, tidak mendaftarkan pekerja/karyawannya menjadi peserta Jamsostek atau ada yang hanya mendaftarkan sebagian saja. Bahkan, banyak perusahaan yang melaporkan hanya sebagian dari upah tenaga kerjanya dari nilai yang diterima sesungguhnya.

"Jadi, daripada membentuk dua BPJS baru yang tidak jelas, pemerintah seharusnya mendorong Jamsostek segera menyesuaikan diri dengan amanat UU SJSN. Cakupan Jamsostek harus bisa dinikmati seluruh pekerja/buruh. Iurannya pun perlu dinaikkan dari 13,74 persen saat ini ke kisaran 20-22 persen darti gaji yang dilaporkan," ujarnya.

Seperti diketahui, pemerintah mengusulkan pembentukan dua BPJS baru berdasarkan program. BPJS pertama bersifat jangka pendek untuk melayani program jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK), jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan kematian (JK). Sedangkan BPJS kedua bersifat jangka panjang untuk melayani program jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun.

Di tempat terpisah, pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy mengatakan, perdebatan daalam pembahasan RUU BPJS sebagai implementasi dari UU SJSN banyak yang tidak substansial. Ini harus dihentikan. Menurut dia, saat ini pekerja di perusahaan swasta dan BUMN serta PNS dan TNI/Polri sudah mendapat pelayanan jaminan sosial melalui empat BPJS. Jadi, kalau mau ditransformasi seperti usulan pemerintah dan DPR, mungkin statusnya, yakni dari BUMN menjadi badan hukum publik. (Andrian)

Jumat, 24 Juni 2011

Korban PHK Sri Ratu Kembali Demo

Sumber : Suara Merdeka

* Camat Turun Tangan

Semarang, CyberNews. Sebagian karyawan pasaraya Sri Ratu (SR) Peterongan, Semarang, kembali berunjuk rasa Rabu (22/6) di halaman gedung pasaraya tersebut.

Demonstrasi itu adalah upaya untuk meluluskan tuntuan uang pesangon yang layak bagi karyawan pasaraya Sri Ratu yang dikenai PHK (Pemutusan Hubungan kerja) oleh perusahaan, sementara proses mediasi terus berjalan.

Lebih dari 100 karyawan korban PHK yang dipimpin oleh Mulyono kepala Serikat Pekerja Nasional SR Peterongan, menyuarakan yel-yel menuntut pertanggungjawaban manajemen SR berupa pesangon dua kali gaji, terhadap 77 karyawan yang di-PHK pada 9 Juni lalu.

Tuntutan tersebut, kata Mulyono, sesuai dengan UU Ketenagakerjaan yang berlaku.

Selama unjuk rasa berlangsung, tak seorang pun wakil dari manajemen SR tampil menemui para pengunjuk rasa.

Khawatir akan kemungkinan adanya tindak anarki oleh pengujuk rasa, camat Semarang Selatan Kukuh S pun turun tangan menenangkan pengunjuk rasa.

Mediasi Karyawan Sri Ratu Diundur, Wakil Perusahaan Tidak Hadir

Sumber: Suara Merdeka (SEMARANG METRO)

SEMARANG- Mediasi antara karyawan Sri Ratu dengan pihak manajemen perusahaan yang seharusnya berlangsung Selasa (21/6) di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota batal dilaksanakan.

Pasalnya, wakil dari perusahaan tidak hadir. Pihak manajemen melalui kuasa hukumnya dari Kantor Advokad Saksono Yudiantoro SH MH dan Asociaties, mengirimkan surat bernomor 45/Adv/SY/VI/2011 ditujukan kepada Kepala Disnakertrans up Mediator Hubungan Sudiyono SH. Surat tertanggal 20 Juni 2011 itu berisi penetapan mediasi yang seharusnya 21 Juni 2011 ditunda menjadi Senin, 27 Juni 2011.
”Kami tidak bisa melanjutkan mediasi karena salah satu pihak tidak hadir,” kata Kabid Hubungan Industrial Disnaker Kota, Ekwan Priyanto.

Sesuai ketentuan Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), pihak Disnakertrans berencana mengirim surat panggilan tertulis kepada pihak perusahaan yang telah memberhentikan karyawan.
Sebanyak 71 karyawan Sri Ratu Peterongan diberhentikan sepihak oleh perusahaan sejak 9 Juni 2011. ”Sesuai ketentuan, kami akan kirim surat undangan tertulis,” ujarnya.

Menyayangkan

Pihak karyawan yang diwakili Ketua DPC SPN Kota, Heru Budi Utoyo menyayangkan pemberitahuan yang mendadak ini. Dia mewakili karyawan berharap jika ada kesepakatan kedua pihak untuk melakukan mediasi, Jumat (24/6).
”Kami menyayangkan tindakan manajemen atau kuasa hukum. Kami juga tidak setuju jika mediasi digelar Senin (27/6), karena harusnya yang menentukan jadwal adalah mediator atas persetujuan kedua pihak,” tuturnya.

Agus Suhartoyo SH, selaku kuasa hukum Sri Ratu ketika dikonfirmasi melalui telepon seluler membenarkan tidak hadir ke mediasi yang telah dijadwalkan, karena permintaan pendampingan manajemen Sri Ratu belum terjadwal.

”Kebetulan hari ini (kemarin-red) kami ada sidang, jadwal berbenturan, jadi kami meminta ditunda dan telah mengirimkan pemberitahuan penundaan. Kami juga mendapatkan telepon dari Disnakertrans yang memberitahukan bahwa karyawan menghendaki mediasi digelar Jumat depan. Mudah-mudahan kami akan datang,” papar Agus. (rni-16)

Kamis, 16 Juni 2011

Puluhan karyawan Sri Ratu Peterongan mengadu ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang

Sumber : Suara Merdeka

Puluhan karyawan Sri Ratu Peterongan mengadu ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang Jl Ki Mangunsarkoro, Rabu (15/6). Mereka menyampaikan unek-unek setelah diberhentikan sepihak oleh manajemen perusahaan sejak 9 Juni 2011.

Karyawan menuntut agar hak-hak mereka dipenuhi, seperti besaran pesangon dan penghargaan masa kerja. Puluhan karyawan ini didampingi tiga kuasa hukum dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kota Semarang Heru Budi Utoyo,Hendro Agung Wibowo, Priyanto Pamungkas, dan Kholilul Wasik. Para karyawan yang sebagian besar telah 15 tahun bekerja di swalayan itu menyampaikan ke Kabid Hubungan Industrial Disnakertrans Kota Semarang.

Hendro, salah satu kuasa hukum mereka mengatakan, mereka datang untuk mempertanyakan kepastian nasibnya dan meminta Disnakertans menjadi mediator. Sesuai ketentuan Undang-undang Ketenagakerjaan Pasal 164 ayat 3 yang mengatur tentang pemutusan hubungan kerja, dengan alasan efisiensi maka pekerja atau karyawan seharusnya mendapatkan haknya yang diatur pada Pasal 156 ayat 3 dan 4. Aturan itu berbunyi pekerja berhak atas dua kali ketentuan pesangon dan penghargaan masa kerja.

Namun, menurut Hendro, hak-hak tersebut tidak dipenuhi oleh perusahaan yang hanya bersedia membayar seperempat dari ketentuan. Sebagaimana yang disampaikan Kristin Nasfianti perwakilan karyawan. Menurutnya, para pekerja hanya menuntut hak, seharusnya perusahaan juga peduli dengan karyawannya. Apalagi sebagian karyawan sudah lama bekerja. Karyawan juga tidak diajak bicara saat akan di-PHK, sebab itulah dia menuntut haknya untuk digunakan modal usaha.

Sementara itu, perwakilan karyawan diterima oleh Kabid Hubungan Industrial Disnakertrans Kota Semarang, Ekwan Priyanto. Dia menyatakan siap menjembatani aspirasi karyawan dan kemampuan perusahaan. Pihaknya akan segera memediasi eks karyawan dengan perusahaan yang bersangkutan, agar apa yang menjadi tuntutan supaya cepat tuntas.

GM Sri Ratu Grup Donny Yulianto dan HRD Manajer Grup Indra Dewanto saat ditemui seusai mediasi tidak bersedia banyak berkomentar. Donny menyampaikan agar karyawan bersabar menunggu keputusan hasil mediasi yang dijembatani Disnakertrans. Pertemuan berikutnya akan dilakukan pada Selasa (21/6).

Reporter & Kameraman: Yulianto
Dubber: Diantika PW
Editor Video: Aminuddin & Arief