Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Senin, 23 Mei 2011

Globalisasi Ekonomi dan Nasib Buruh

* Oleh: A. Setyawan

TANGGAL 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh oleh ILO sebuah lembaga tenaga kerja internasional. Meskipun diperingati setiap tahun nasib buruh tidak kunjung berubah, yaitu senantiasa terpinggirkan. Dalam konteks perekonomian global, buruh terutama di negara berkembang nasibnya semakin tidak jelas. Keberadaan mereka apabila dilindungi regulasi dituduh sebagai penyebab menurunnya daya tarik investasi sebuah negara.

Sebagai contoh adalah kasus di Indonesia. Urgensi pemulihan ekonomi menyebabkan pemerintah Indonesia berorientasi pada pemulihan investasi. Namun demikian penurunan investasi (terutama asing) di Indonesia terus berlangsung. Data dari Asian Development Bank menunjukkan, pada tahun 2002 penurunan angka realisasi investasi sebesar 2.251 juta dolar AS. Ini dapat diartikan investor justru melakukan relokasi ke luar dari Indonesia.

Beberapa pengamat mengemukakan ada tiga sebab utama penurunan realisasi investasi di Indonesia, yaitu pertama, masalah penegakan hukum dan perundang-undangan. Hal ini mengakibatkan tidak ada kepastian hukum yang bisa menjamin kepentingan investor.

Kedua, masalah korupsi. Riset yang dilakukan PERC dan Transparency International menyatakan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup baik di kawasan Asia maupun dunia. Korupsi di Indonesia menyebabkan munculnya masalah ekonomi biaya tinggi yang juga membebani investor.

Ketiga, pasar tenaga kerja yang tidak fleksibel. Pasar tenaga kerja yang tidak fleksibel disebabkan oleh terlalu besarnya intervensi pemerintah dalam pasar tenaga kerja, terutama dalam penentuan upah minimum. Penyebab ketiga inilah yang menjadi dasar analisis dalam artikel ini, karena hal ini terkait dengan masalah perburuhan atau ketenagakerjaan.

Rumit

Maraknya demonstrasi buruh di Indonesia saat ini juga menunjukkan kerumitan masalah perburuhan di Indonesia. Demo buruh dalam memperjuangkan nasibnya terjadi mulai di perusahaan swasta sampai dengan BUMN. Contoh yang paling fenomenal adalah demonstrasi yang dilakukan para pekerja PT Dirgantara Indonesia (DI) yang sampai sekarang masih belum terselesaikan. Selain itu, demo yang dilakukan Sekar (Serikat Karyawan) PT Telkom yang menolak adanya merger dengan sebuah perusahaan asing, dengan alasan perusahaan mitra belum tentu menjamin nasib mereka, akhirnya berhasil menggagalkan proses merger tersebut.

Artikel ini akan melihat fenomena globalisasi ekonomi dan meningkatnya posisi tawar- menawar buruh serta kaitannya dengan pemulihan ekonomi nasional. Globalisasi ekonomi dimaknai sebagai kebebasan arus modal masuk-keluar sebuah negara, baik dalam bentuk investasi langsung maupun investasi portofolio. Hal ini menyebabkan seorang investor mempunyai kebebasan untuk menanamkan modalnya di mana pun di dunia ini selama hal itu menguntungkan bagi dirinya.

Pemerintah di negara berkembang oleh para investor ditekan agar mereka mempermudah regulasi perdagangan internasional demi kepentingan mereka. Jayasuriya (1998) menganalisa fenomena ini dengan sebuah tesis tentang pemerintahan negara yang dikendalikan oleh pasar. Analisanya yang mengambil contoh krisis ekonomi Asia pada tahun 1998 menyatakan bahwa kehancuran fundamental ekonomi di kawasan ini adalah pada saat kekuasaan negara beralih pada kekuasaan pasar global.

Semua kebijakan pemerintah ditentukan oleh mekanisme pasar, bahkan pemilihan figur pejabat juga dipilih mereka yang "disenangi" oleh pasar. Kebebasan aliran modal ini mempunyai dampak ekonomi serius terutama jika dikaitkan dengan kepentingan buruh.

Relokasi beberapa perusahaan swasta asing seperti Sony dan Gillette di Indonesia adalah karena masalah buruh. Buruh di Indonesia saat ini dianggap tidak menyebabkan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Buruh Indonesia sudah mempunyai posisi tawar - menawar yang lebih kuat karena kebangkitan demokrasi. Mereka bisa melakukan penolakan terhadap kebijakan perusahaan, baik tentang penentuan tingkat upah ataupun hal lainnya.

Mekanisme penolakan yang ditempuh adalah demonstrasi. Demonstrasi yang berujung pemogokan tentu mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Ironisnya pemerintah yang berfungsi sebagai penengah tidak mampu berbuat apa-apa bahkan kadangkala justru memperburuk situasi, dengan kebijakan ketenagakerjaan yang tidak jelas.

Peningkatan daya - tawar menawar buruh Indonesia ini sayangnya tidak diimbangi dengan peningkatan etos kerja mereka dalam perusahaan. Pekerja Indonesia seringkali dikritik tidak terampil dan mempunyai etos kerja rendah. Kita bisa melihat betapa buruh Indonesia terkadang terlalu reaktif dalam melihat sebuah permasalahan, mereka terburu-buru untuk menyelesaikan masalah dengan demonstrasi. Hal ini mengakibatkan investor memilih untuk hengkang dari Indonesia.

Modal Vs Tenaga Kerja

Ide dasar globalisasi ekonomi yang sebenarnya adalah menciptakan pasar persaingan sempurna dalam pasar faktor produksi. Namun, negara industri maju (AS dan Eropa) hanya melakukan globalisasi ekonomi dalam pasar faktor produksi modal, sementara mereka tidak mau melaksanakan perdagangan bebas dalam faktor produksi tenaga kerja.

Penulis teringat pernyataan mantan PM Mahathir Mohammad dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi swasta Indonesia beberapa tahun lalu. Waktu itu Dr. M yang masih menjabat perdana menteri menyatakan apabila negara maju memaksakan kehendak pada negara berkembang agar mereka bersedia menerima perdagangan bebas berupa kebebasan aliran modal, maka mereka seharusnya bersedia menerima juga kesepakatan kebebasan aliran tenaga kerja.

Artinya apabila pemerintah negara berkembang harus menerima aliran modal (berupa investasi) dari negara maju, baik masuk maupun keluar, maka pemerintah negara maju seharusnya mau menerima aliran tenaga kerja dari negara berkembang untuk masuk pasar kerja di negara maju. Namun, sampai saat ini definisi operasional globalisasi ekonomi masih dikuasai oleh negara maju dengan makna kebebasan aliran modal.

Nasib buruh di negara berkembang termasuk Indonesia masih jauh dari harapan. Kondisi ekonomi yang rentan terhadap krisis ekonomi menyebabkan kepentingan buruh menjadi kebijakan nomor sekian dari pemerintah negara berkembang. Hal ini bisa kita lihat dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatur TKI yang tersebar di beberapa negara tetangga seperti Arab Saudi, Kuwait, Taiwan, Malaysia, Hong Kong dan Singapura. Para pahlawan devisa itu hanya menjadi sasaran pemerasan dan tidak mendapatkan perlindungan yang layak dari pemerintah.

Hari Buruh masih menyisakan kesuraman bagi para pekerja di negara berkembang. (18)

- Anton A. Setyawan, SE,MSi, dosen Fak. Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sabtu, 14 Mei 2011

Raperda Naker Kota Semarang Atur Outsourcing

SEMARANG (KRjogja.com) - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Ketenagakerjaan yang masih dibahas Pemerintah Kota Semarang dengan DPRD setempat akan mengatur pekerjaan yang disubkontrak atau outsourcing.

"Seluruh persoalan yang menyangkut pengusaha dengan pekerja dan pengusaha dengan pemerintah termasuk masalah `outsourcing` akan diatur dalam Raperda tentang Ketenagakerjaan," kata Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda tentang Ketenagakerjaan, Rukiyanto, Senin (18/4).

Hal itu dikatakannya seusai acara "talkshow" yang diselenggarakan Radio Trijaya dengan tema "Membangun Harmonisasi Hubungan Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah," di Semarang.

Rukiyanto mengatakan pembahasan Raperda tentang Ketenagakerjaan akan intensif dibahas pada Mei 2011 dan ditargetkan dapat selesai pada akhir masa sidang kedua, yakni bulan Agustus 2011.

"Targetnya bulan Agustus 2011 dapat selesai," katanya.

Dalam pembahasan Raperda tentang Ketenagakerjaan tersebut, lanjut Rukiyanto, akan melibatkan semua pihak termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan serikat pekerja, serta Jamsostek.

"Raperda ini adalah inisiatif dari Komisi D DPRD Kota Semarang dengan harapan, dunia usaha di Kota Semarang lebih baik lagi. Kepentingan pekerja tidak diabaikan begitu juga sebaliknya kepentingan para pengusaha dapat berjalan lancar," katanya.

Dalam kesempatan sama, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang, Gunawan Saptogiri, mengatakan bahwa "outsourcing" sebenarnya diperbolehkan asalkan sesuai dengan ketentuan yang ada.

"Undang-undang mengatur bahwa yang diperbolehkan `outsourcing` adalah pekerjaan yang tidak pokok atau bersifat sementara seperti satpam dan `cleaning service`," katanya.

Permasalahannya, lanjut Gunawan, masing-masing pihak memahami kata yang tidak pokok tersebut berbeda-beda atau multitafsir.

"Oleh karena itu, masalah `outsourcing` ini akan dibahas dalam Raperda tentang Ketenagakerjaan Kota Semarang. Akan tetapi, Raperda Ketenagakerjaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang," tandasnya. (Ant/Tom)

Jumat, 06 Mei 2011

Pemerintah perketat pengawasan outsourcing

Sumber : Bisnis Indonesia

JAKARTA: Para buruh dan pekerja telah merayakan Mayday pada Minggu, 1 Mei. Di berbagai kota di Indonesia, perayaan Hari Buruh dilakukan dengan unjuk sikap dan menyampaikan tuntutan, seperti penghapusan system kerja kontrak (outsourcing), penerapan sistem jaminan sosial nasional dan pembentukan badan pelaksanaan ja minan sosial, hingga tuntutan ke bebasan berserikat.

Saat ini, dari sekitar 116,5 juta angkatan kerja, baru 3,41 juta orang yang tercatat sebagai anggota serikat pekerja/buruh.

Untuk mengetahui sikap pemerintah terhadap tuntutan kaum buruh tersebut, Bisnis mewawancarai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi A. Muhaimin Iskandar, berikut petikannya:

Bagaimana Anda menilai pekerja/buruh?

Tenaga kerja itu harus dilihat sebagai bagian dari faktor produksi, sehingga upah yang diberikan harus memberikan kontribusi terhadap peningkatan produktivitas kerja. Dengan kata lain, apabila upah meningkat, seperti di atas upah minimum, maka produktivitas kerja harus meningkat sekurang-kurangnya setara dengan peningkatan itu. Jadi, antara kinerja, produktivitas kerja dan upah berkesinambungan sehingga tercapai kesejahteraan pekerja/ buruh.

Bagaimana kondisi serikat pekerja/serikat buruh saat ini?

Kondusif, karena pemerintah memberi kebebasan berserikat kepada pekerja/buruh untuk menyalurkan aspirasinya. Saat ini, SP/SB memiliki empat konfederasi, 90 federasi tingkat nasional, 11.786 unit kerja/basis dan 20 federasi yang tidak berafiliasi dengan konfederasi. Anggota SP/SB mencapai 3.405.615 orang. Ini berpeluang ditingkatkan jumlahnya agar menjadi kekuatan ekonomi.

Adapun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebagai wakil unsur pengusaha memiliki satu kepengurusan tingkat nasional, 32 di tingkat provinsi dan 250 kepengurusan tingkat kabupaten/ kota dengan anggota 4.450 perusahaan.

Tanggapan Anda terhadap aksi Mayday?

Atas nama pemerintah, saya mengucapkan apresiasi kepada pekerja/buruh dan SP/SB, serta pengusaha, karena [Mayday] berjalan dengan aman, tertib dan lancar. Semoga ini menjadi momentum untuk memperkuat kerja sama membangun iklim ketenagakerjaan lebih kondusif.

Memang ada sejumlah tuntutan pekerja, seperti penghapusan sistem outsourcing, perbaikan upah dan penghapusan sistem union busting [pelarangan kebebasan berserikat]. Ada juga tuntutan penerapan sistem jaminan sosial nasional dan merealisasikan pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial.

Bagaimana dengan penghapusan outsourcing?

Yang tengah dilakukan pemerintah saat ini memperbaiki regulasi outsourcing, sehingga tidak lagi merugikan pekerja, tapi diperlukan waktu untuk menyesuaikan pendapat antara kepentingan pengusaha dan pekerja.

Selagi menunggu perubahan perundangan, pemerintah memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan outsourcing dengan mengerahkan petugas pengawas ketenagakerjaan di tingkat pusat maupun daerah.

Mengenai union busting?

Memang muncul dan terus menerus dicari jalan keluar oleh pemerintah agar benar-benar ada kebebasan berserikat dalam hubungan industrial dengan komunikasi yang intensif dalam forum bipartit [pekerja dan pengusaha].

Jadi, kebebasan berserikat itu harus dimaknai sebagai cara mengembangkan dialog antara pengusaha dan pekerja untuk membangun hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.

Tuntunan penerapan SJSN dan BPJS?

Pemerintah tidak hanya harus menghitung lebih cermat dan realistis pelaksanaannya, tetapi siap melakukan pembahasan RUU BPJS bersama dengan DPR. Konsep SJSN dan pendirian BPJS yang lebih lengkap harus diwujudkan sesuai dengan prinsip realistis dan optimalisasi segenap kemampuan, tanpa mengganggu stabilitas keuangan negara dengan melaksanakan secara bertahap.

Pada intinya pemerintah dan DPR sepakat, serta berkomitmen mengembangkan SJSN bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah, serta tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusian dan peraturan perundangan.

Dapatkah tuntutan itu terpenuhi?

Pemerintah tidak diam, ada upaya merealisasikan semua tuntutan, secara bertahap dan berkelanjutan.

Senin, 02 Mei 2011

SIARAN PERS SPN KOTA SEMARANG ; Pada Mayday Simpatik tebar 1000 Bunga Tahun 2011

PERSOALAN DAN TUNTUTAN PERBAIKAN KESEJAHTERAAN BAGI PEKERJA/BURUH

MAYDAY selalu membawa semangat perubahan, yaitu perubahan kondisi pekerja/buruh agar mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Semangat inilah yang selalu menjadi keyakinan bagi setiap pekerja/buruh dalam memperingati MayDay disetiap tahunnya. Dan keyakinan untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik ini dapat terwujud apabila setiap pekerja/buruh mau berjuang dan menggabungkan dirinya kedalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh dimasing-masing tempat mereka bekerja. Sebagai wadah perjuangan, Serikat Pekerja/Serikat Buruh mempunyai fungsi diantaranya memberikan perlindungan hak dan kepentingan, memperjuangkan kesejahteraan yang layak dan meningkatkan sumber daya manusia bagi pekerja/buruh beserta keluarganya. Dalam peringatan MayDay kali ini, pekerja/buruh masih dihadapkan pada persoalan-persoalan yang belum mampu terjawab.

Pertama, semakin maraknya sistem kerja kontrak dan outsourcing telah menjadikan kondisi pekerja/buruh dari hari kehari semakin terjepit akibat dari ketidakpastian kerja dan minimnya lapangan kerja serta rendahnya posisi tawar mereka dihadapan pengusaha. Dengan adanya sistem kontrak dan outsourcing tersebut, secara sistematis buruh akan kehilangkan hak-haknya berupa kesejahteraan dan keberlangsungan kerja dimana mereka akan kesulitan mencari kerja pasca berakhirnya kontrak kerja karena faktor usia. Secara politis mereka juga akan kehilangan haknya untuk dapat berorganisasi secara bebas, bagaimana mungkin buruh dapat berorganisasi jika kemudian kontraknya habis dan hubungan kerjanya berakhir. Selain itu juga akan berdampak pada hilangnya jaminan kesehatan, pensiun, kenaikan upah, jenjang karir, dan lainnya. Pekerja/buruh yang semula bekerja dengan status tetap, berangsur-angsur akan diganti dengan pekerja/buruh kontrak ataupun outsourcing dengan menggunakan berbagai macam cara.

Kedua, minimnya upah yang diterima oleh pekerja/buruh yang masih jauh dari kelayakan sebagaimana dimandatkan oleh UU 13/2003. Seperti persoalan mekanisme survey dan item-item yang ada di dalam Komponen Permenakertrans 17/2005 yang sesungguhnya belum dapat mengakomodir kebutuhan hidup secara riil bagi seorang pekerja/buruh. Upah yang diterima hingga saat inipun masih berkutat pada upah minimum yang menggunakan standar kebutuhan pekerja/buruh lajang sedangkan fakta yang ada bahwa 52 % pekerja/buruh dengan status berkeluarga. Selain itu juga dalam pelaksanaan survey dan penetapan KHL yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan tanpa mempertimbangkan adanya laju inflasi pada tahun yang akan datang, sehingga dapat dibilang bahwa “UMK selalu ketinggalan kereta”. Diperparah lagi dengan adanya surat edaran Dirjen PHIJSK dan kesepakatan Dewan Pengupahan Propinsi Jawa Tengah tentang konversi minyak tanah ke gas yang mengakibatkan turunnya nilai KHL disemua daerah khususnya di Kota Semarang.

Ketiga, berkurangnya kesejahteraan yang diterima oleh pekerja/buruh seperti tunjangan makan, transport dan jaminan sosial yang tidak diimbangi dengan pemenuhan terhadap hak-hak yang lainnya misalnya; hak-hak pekerja/buruh perempuan yang terabaikan yaitu cuti haid, cuti melahirkan, cuti keguguran dan hak untuk menyusui bayi. Bahkan para pekerja/buruh perempuan yang selama ini sudah terambil hak-haknya seringkali masih dipaksa untuk bekerja melebihi jam kerja tanpa dihitung lembur dikarenakan sistem target yang tidak bisa mereka penuhi. Akibatnya para buruh perempuan ini harus meninggalkan waktu untuk keluarganya hanya untuk mengejar target yang sulit terpenuhi.

Keempat, adanya mekanisme perselisihan hubungan Industrial yang diatur didalam Undang Undang No.2 / 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) menjadi persoalan tersendiri. Regulasi yang konon katanya mudah dan murah itu ternyata realisasinya berbeda, dimana proses perselisihan yang dimulai dari perundingan bipartit, mediasi hingga pengadilan Hubungan Industrial (PHI) membutuhkan waktu yang cukup lama dan bertele-tele serta biaya operasionalnyapun juga tidak sedikit. Sehingga pekerja/buruh menjadi malas ataupun trauma ketika mempunyai permasalahan yang akan dibawa hingga PHI apalagi kalau sampai proses kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Berbagai persoalan membawa dampak yang tidak baik bagi pekerja/buruh tersebut menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar pekerja/buruh saat ini. Dalam kondisi semacam ini peranan negara untuk melindungi pekerja/buruh sangat diperlukan, melalui mekanisme perlindungan didalam peraturan perundangan dan juga fungsi pemerintah dalam hal ini adalah Gubernur dan Walikota dapat memberikan kebijakan yang tidak merugikan kaum buruh, dan melalui Disnakertrans dapat melakukan pengawasan dan ketegasan dalam pemberian sanksi terhadap para pelaku pelanggaran terhadap hak-hak pekerja/buruh. Selain itu Serikat Pekerja/serikat buruh juga dituntut bekerja lebih keras lagi untuk membangun kesadaran dan solidaritas pekerja/buruh untuk memperjuangkan nasibnya, karena kekuatan pekerja/buruh itu sesungguhnya terletak pada solidnya para pekerja/buruh itu sendiri.

Melihat berbagai persoalan tersebut, maka Kami yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kota Semarang pada peringatan MayDay 2011 ini menyerukan sbb :
1. Menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional, menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing, memberikan upah layak dan kesejahteraan bagi pekerja/buruh, berikan hak-hak pekerja/buruh perempuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang;
2. Penegakan Hukum dibidang ketenagakerjaan melalui instansi terkait yaitu Disnakertrans propinsi Jawa Tengah dan Disnakertrans Kota Semarang pada khususnya untuk melakukan pengawasan dan tindakan yang tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran hak-hak pekerja/buruh;
3. Seluruh pekerja/buruh dimanapun berada untuk merapatkan barisan dan membangun solidaritas untuk berjuang memperbaiki nasibnya, baik melalui Serikat Pekerja/buruh, kelembagaan eksekutif, legislatif dan yudikatif;

MayDay merupakan kemenangan bagi kelas pekerja/buruh, namun MayDay juga menjadi ujian bagi pekerja/buruh, dimana pada peringatan hari kemenangan yang dirayakan saat ini dihiasi oleh berbagai persoalan- persoalan yang belum terselesaikan. Tetapi setidaknya dalam peringatan MayDay kali ini masih ada kesempatan bagi pekerja/buruh dan stake holder untuk membangun sebuah kekuatan dalam bentuk solidaritas perjuangan, sebagaimana kekuatan yang pernah ada pada abad ke 19 dimana kelas pekerja/buruh mendapatkan kemenangan dalam tuntutannya mereduksi jam kerja dari 19 hingga 20 jam perhari menjadi 8 jam kerja perhari yang terealisasi pada 1 Mei 1886. Dari inspirasi itulah, maka 1 Mei dijadikan sebagai Hari Buruh Sedunia atau yang sekarang ini disebut dengan MAYDAY.