SEMARANG, suaramerdeka.com - Sekitar 50 buruh
perempuan dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kota Semarang, Jumat
(21/12) menggeruduk Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Disnakertrans) setempat.
Mereka menuntut Disnakertrans bisa meningkatkan kerja pengawasan
terhadap pemenuhan hak, sekaligus mengambil tindakan tegas terhadap
pengusaha yang melakukan pelanggaran hak-hak pekerja perempuan.
Para buruh menilai, regulasi dan kebijakan dalam memberikan
perlindungan kepada pekerja perempuan sangat lemah. Lemahnya regulasi
itu seringkali diperparah lemahnya jaminan perlindungan terhadap
pekerja. Khususnya di bidang pengawasan dan penegakan hak-hak.
"Karena itu harus ada perbaikan terhadap regulasi yang ada. Masih
banyak pekerja perempuan yang tidak terlindungi hak-haknya," kata
Koordinator Gerakan Perempuan Bisa, DPC SPN Kota Semarang, Anik Ariyani,
saat orasi di halaman Kantor Disnakertrans.
Anik Ariyani menyebutkan, beberapa aturan yang memberikan
perlindungan kepada pekerja perempuan. Seperti Konvensi ILO mengenai
Perlindungan Maternitas, UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU
No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, dan masih banyak lagi peraturan pelaksanaan di bawahnya.
"Namun implementasinya, aturan-aturan itu di lapangan masih banyak
yang tumpang tindih. Masih ada larangan menikah dengan sesama pekerja
dalam satu perusahaan, larangan hamil bagi pekerja perempuan yang hal
ini biasanya termuat dalam kontrak kerja. Dalam UU Ketenagakerjaan jelas
tidak memberikan kewenangan kepada pengusaha/perusahaan untuk membuat
kontrak kerja yang memuat larangan itu," jelas dia.
Sekretaris Gerakan Perempuan Bisa, DPC SPN Kota Semarang, Yartatik
menambahkan, masih ada pekerja perempuan yang mengajukan cuti
hamil/melahirkan di luar tanggungan perusahaan. Artinya pekerja
perempuan diizinkan mengambil cuti hamil/melahirkan, namun terkadang
tidak dibayarkan upah tiap bulannya.
Padahal dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja perempuan berhak memperoleh
cuti 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Dan pekerja perempuan
yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5
bulan.
"Masih sedikit perusahaan yang memenuhi ketentuan hak pekerja
perempuan. Misalnya untuk menyusui bayinya, hak untuk mendapatkan cuti
haid, kerja lembur hingga dini hari dan ketersediaan sarana
transportasi, serta banyak persoalan persoalan lain," katanya.