Oleh : Heru Budi Utoyo
Diantaranya adalah persoalan Upah yang
semestinya menjadi amanat UUD 1945 dan UU 13/2013 tentang ketenagakerjaan,
dimana setiap buruh berhak memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,
namun hingga kini persoalan tersebut tak kunjung selesai. Dinamika persoalan
penetapan Upah minimum setiap tahunnya selalu dibenturkan antara kepentingan
buruh dengan pengusaha. Tidak hanya itu, persoalan pelanggaran terhadap pelaksanaan
Upah minimum pun juga marak terjadi, sementara posisi Pemerintah yang
seharusnya menjadi pelindung pekerja/buruh juga tidak mampu berbuat banyak
dengan membiarkan ketidakadilan ini berjalan begitu saja tanpa ada ketegasan
dan sanksi hukum terhadap pelaku pelanggaran pelaksanaan upah. Kedua, persoalan maraknya sistem
kerja kontrak dan outsourcing yang menjadikan kondisi buruh dari hari kehari
semakin terjepit akibat dari ketidakpastian kerja dan rendahnya posisi tawar
mereka dihadapan pengusaha. Dengan adanya sistem kontrak dan outsourcing serta
lemahnya sistem pengawasan, secara sistematis buruh akan kehilangkan hak-haknya
berupa kesejahteraan dan keberlangsungan kerja dimana mereka akan kesulitan
mencari kerja pasca berakhirnya kontrak kerja karena faktor usia. Secara
politis mereka juga akan kehilangan haknya untuk mendapatkan kebebasan
berorganisasi, bagaimana mungkin buruh dapat berorganisasi jika kemudian
kontraknya habis dan hubungan kerjanya berakhir. Ketiga, persoalan Pendidikan yang mahal dan tidak
terjangkau oleh masyarakat buruh di Jawa tengah untuk dapat menyekolahkan
anaknya ke jenjang lebih tinggi karena keterbatasannya, padahal mereka
mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Keempat, kerentanan buruh perempuan
terhadap eksploitasi merupakan problem klasik dalam relasi industrial. Disisi
lain, Serikat Pekerja kesulitan dalam memperjuangkan kepentingan buruh
perempuan walaupun saat ini buruh perempuan lebih banyak daripada buruh
laki-laki. Akibatnya meluas pada aspek-aspek lain non-ekonomi yang merendahkan
harkat buruh perempuan karena timbulnya pelecehan secara verbal maupun
non-verbal yang dialami buruh perempuan yang terjadi berulang kali, dan anehnya
dianggap sebagai persoalan tidak serius. Kelima,
Upah murah yang dijadikan sebagai alat untuk menarik investor menjadikan
persoalan tersendiri, mestinya Investasi diprioritaskan untuk penyerapan tenaga
kerja dan kesejahteraan buruh yang dapat mentransformasikan pengetahuan
dan teknologi yang digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat Jawa
Tengah, bukan hanya pengurasan sumber daya manusia dan alam saja.
Dari beberapa persoalan tersebut sudah barang tentu
menjadi “ PR “ bagi Ganjar-Heru sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru
dan harapan baru bagi masyarakat buruh
di Jawa Tengah, dengan sebuah “gebrakan” yang dinanti-natikan untuk memperbaiki
kesejahteraan buruh di Jawa Tengah. Namun demikian Serikat Pekerja/ Serikat
Buruh di Jawa Tengah tetap memposisikan diri sebagai “MITRA KRITIS” terhadap
Pemerintahan Ganjar-Heru untuk mengawal dan memperjuangkan perlindungan dan
kesejahteraan masyarakat buruh di Jawa Tengah.