Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Sabtu, 25 Juni 2011

KESEJAHTERAAN RAKYAT : RUU BPJS Buatan Asing

Sumber : Suara Karya Online

JAKARTA (Suara Karya): Reformasi pelaksanaan jaminan sosial harus sesuai dengan tujuan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tepatnya memperluas cakupan untuk masyarakat yang selama ini belum terlindungi program jaminan sosial.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (FSP BUMN) Abdul Latif Algaff mengatakan, badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) harus di bawah otoritas negara. Jika tidak, maka bertentangan dengan tujuan diimplementasikannya program jaminan sosial. Untuk itu, pemerintah dan DPR diharapkan bisa mempertimbangkan berbagai aspek dalam membahas rancangan Undang-Undang (RUU) tentang BPJS sebagai pelaksanaan UU SJSN.

"Pelaksanaan jaminan sosial harus sesuai dengan tujuannya melindungi seluruh warga negara. Jadi, pemerintah dan DPR sebaiknya fokus untuk membentuk BPJS bagi masyarakat yang belum terlindungi program jaminan sosial," katanya dalam seminar nasional bertajuk "Menatap Reformasi Jaminan Sosial di Indonesia" di Jakarta, Kamis (23/6).

Menurut dia, konsep dua BPJS dalam RUU BPJS yang diajukan Kementerian Keuangan dan sudah dibahas dengan DPR merupakan produk konsultan asing. Konsepnya sangat tidak layak untuk diterapkan di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah, DPR, dan kalangan pekerja/buruh perlu mewaspadai kekuatan neoliberal asing yang ingin mengambil pangsa pasar pengelolaan jaminan sosial di Indonesia.

Konsep transformasi dan peleburan empat BPJS yang ada saat ini, yakni PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri, lanjutnya, sangat berbahaya. Upaya ini berpotensi menimbulkan dampak sistemik yang luar biasa bagi perekonomian nasional. Selain itu, peserta, khususnya pekerja/buruh, tidak akan percaya kepada lembaga pemerintah untuk mengelola program jaminan sosial.

"Jadi, pembentukan BPJS baru yang fokus pada masyarakat miskin serta tidak mampu merupakan opsi kebijakan yang tepat dan rasional. Pemerintah dan DPR justru jangan membuat keresahan di kalangan pekerja dan masyarakat terkait pelaksanaan jaminan sosial," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, pengamat jaminan sosial Sulastomo mengatakan, pemerintah dan DPR masih membahas bentuk BPJS yang akan melaksanakan SJSN. Memang dalam kondisi saat ini, keputusan penentuan bentuk BPJS yang ideal memang tidak mudah. Sebab, BPJS harus sesuai dengan realitas yang ada, termasuk menyangkut hak peserta dan aset/kekayaan empat BPJS yang ada saat ini.

"Penyelenggaraan program jaminan sosial yang konprehensif dan mampu mencakup seluruh penduduk, juga bukan tugas yang mudah. Tidak sekali jadi. Karena itu, harus dilakukan secara bertahap dan penuh kehati-hatian," katanya.

Menurut dia, polemik pembahasan RUU BPJS antara pemerintah dan DPR serta pemangku kepentingan lainnya sebenarnya merupakan perdebatan lama yang terjadi ketika UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dipersiapkan. Ini dikarenakan bentuk BPJS yang ideal sarat dengan subjektivitas dan terkadang sulit dipertemukan. Namun, bentuk BPJS yang ideal itu semestinya seperti yang ada dalam UU SJSN.

Sementara itu, Dewan Penasihat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban mengatakan, hingga saat ini komitmen politik pemerintah dalam melaksanakan jaminan sosial memang belum kuat. Terkait kepesertaan pekerja dalam program jaminan sosial, hingga saat ini ribuan perusahaan, termasuk BUMN, tidak mendaftarkan pekerja/karyawannya menjadi peserta Jamsostek atau ada yang hanya mendaftarkan sebagian saja. Bahkan, banyak perusahaan yang melaporkan hanya sebagian dari upah tenaga kerjanya dari nilai yang diterima sesungguhnya.

"Jadi, daripada membentuk dua BPJS baru yang tidak jelas, pemerintah seharusnya mendorong Jamsostek segera menyesuaikan diri dengan amanat UU SJSN. Cakupan Jamsostek harus bisa dinikmati seluruh pekerja/buruh. Iurannya pun perlu dinaikkan dari 13,74 persen saat ini ke kisaran 20-22 persen darti gaji yang dilaporkan," ujarnya.

Seperti diketahui, pemerintah mengusulkan pembentukan dua BPJS baru berdasarkan program. BPJS pertama bersifat jangka pendek untuk melayani program jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK), jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan kematian (JK). Sedangkan BPJS kedua bersifat jangka panjang untuk melayani program jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun.

Di tempat terpisah, pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy mengatakan, perdebatan daalam pembahasan RUU BPJS sebagai implementasi dari UU SJSN banyak yang tidak substansial. Ini harus dihentikan. Menurut dia, saat ini pekerja di perusahaan swasta dan BUMN serta PNS dan TNI/Polri sudah mendapat pelayanan jaminan sosial melalui empat BPJS. Jadi, kalau mau ditransformasi seperti usulan pemerintah dan DPR, mungkin statusnya, yakni dari BUMN menjadi badan hukum publik. (Andrian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar