Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Jumat, 17 Desember 2010

Artikel ; PERAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PEKERJA

Polemik Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Kota Semarang Tahun 2011

Oleh ; Hendro Agung Wibowo

Cukup tergelitik membaca tulisan yang dibuat Sdr. Ekwan Priyanto dalam wacana lokal di harian Suara Merdeka pada hari Rabu tanggal 28 Oktober 2010 terkait dengan penetapan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) di Kota Semarang pada akhir-akhir ini. Dimana dalam tulisan yang diberi judul Besaran UMK Dinanti dan Dimaki, diuraikan secara singkat peran Pemerintah dalam menetapkan UMK khususnya di Kota Semarang. Namun satu hal yang perlu ditegaskan adalah terkait dengan sejauhmana peran dan perlindungan Pemerintah dalam hal ini untuk menjalankan mandat dalam mensejahterakan rakyatnya dalam hal ini Pekerja.

Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis ingin menjelaskan sejauhmana peran Negara dalam hal ini Pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya khususnya Pekerja dalam hal penetapan UMK. Jadi tidak hanya sebatas menunjukan sejauhmana Pemerintah harus bersikap sebagaimana yang diinginkan oleh Sdr. Ekwan Priyanto bahwa Pemerintah harus memperhatikan kepentingan kedua belah pihak yaitu Pengusaha dan Pekerja. Namun mandat apa yang harus dijalankan oleh Pemerintah sesuai dengan regulasi yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

DASAR HUKUM PENETAPAN UMK
Konstitusi dasar kita jelas menyebutkan dalam Pasal 28 D ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Yang perlu digarisbawahi disini adalah bahwa hak dari setiap Pekerja untuk mendapatkan imbalan yang layak dalam hubungan kerja. Sehingga secara lebih lanjut ditegaskan pula dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan khususnya Pasal 88 ayat (1) jelas disebutkan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Dan untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi bagi pekerja/buruh (Pasal 88 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003). Jadi dengan ketentuan ini semakin memperjelas peran yang harus dilakukan oleh Pemerintah khususnya dalam memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh dalam menetapkan besaran UMK. Terlebih lagi diuraikan dalam tulisan Sdr. Ekwan Priyanto bahwa UMK ditetapkan sebagai jaring pengaman namun justeru fakta dilapangan yang terjadi justeru sebaliknya dimana UMK dijadikan sebagai tolok ukur dalam memberikan upah kepada Pekerja/Buruh, artinya betapa dominannya peran yang dimiliki oleh Pemerintah dalam penetapan UMK tiap tahunnya.

Salah satu tugas Pemerintah kemudian dimanifestasikan dengan membentuk Dewan Pengupahan dari tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Dengan tugas dan kewenangannya masing-masing, hal ini didasarkan pada Keputusan Presiden No. 107 tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan Republik Indonesia. Dan kemudian berdasarkan pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL, Dewan Pengupahan Kota/Kabupaten akan melakukan survey kebutuhan harga-harga barang di pasaran berdasarkan pada item-item yang sudah ditentutakan dalam Permenakertrans tersebut.

CARUT MARUTNYA MEKANISME PENETAPAN UMK
Tak bisa dipungkiri bahwa dalam setiap penetapan UMK, baik Pengusaha maupun Pekerja melakukan tekanan-tekanan pada pengambil keputusan untuk mempengaruhi besaran penetapan UMK. Tekanan ini bisa berupa sistematis hingga sporadis yang berujud pada aksi-aksi massa, lobby-lobby, dan negosiasi. Tentu dengan kepentingannya masing-masing, tapi satu hal yang pasti adalah bagaimana regulasi atau aturan yang ada bisa dijalankan oleh Pemerintah dengan baik inilah yang harus diuji dilapangan.
Namun fakta dilapangan selalu berbeda dalam bahasa hukum antara Das Sein dan Das Sollennya tidak pernah sama. Sebagaimana diketahui bahwa Pelaksanaan konversi Minyak Tanah ke Gas yang dilakukan oleh Pemerintah pada akhir tahun 2008 lalu, turut mempengaruhi pula dalam penentuan item pengupahan kali ini. Sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL, terdapat 7 item pokok dan 46 subitem yang digunakan sebagai dasar survey untuk menentukan berapa kebutuhan hidup layak (KHL) dan salah satu itemnya adalah menggunakan kompor minyak tanah.

Persoalan inilah yang secara sumir terungkap dilapangan yang menjadi faktor persoalan penetapan UMK pada tahun 2011 esok. Berawal dari munculnya surat Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Dirjen PHI dan Jamsostek) bernomor B.149/PHIJSK/III/ 2010 tertanggal 17 Maret 2010 perihal konversi kompor minyak tanah ke kompor gas yang ditujukan kepada Para Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas di Propinsi dan Kabupaten/Kota, Ketua Dewan Pengupahan Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Dimana surat ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari rekomendasi forum konsultasi dan komunikasi Dewan Pengupahan Se-Indonesia yang disepakati pada tanggal 17 Oktober 2009 bertempat di Hotel Evergreen Puncak – Bogor. Berdasarkan rekomendasi tersebut penggunaan kompor gas satu tungku ukuran sedang lengkap dengan satu regulator dan satu selang dengan jumlah kebutuhan sebanyak 1 buah kompor gas selama 36 bulan menjadi pengganti penggunaan Item kompor minyak tanah.
Perlu diinformasikan pula bahwa Dewan Pengupahan Provinsi (DEPEPROV) Jawa Tengah pada tanggal 23 Maret 2010 telah mensepakati konversi minyak tanah ke Gas dalam Komponen KHL, dimana kesepakatan tersebut isinya adalah sebagai berikut untuk mengetahui nilai komponen kompor gas dilakukan dengan menjumlahkan harga kompor gas 1 (satu) tungku standart SNI dan selang serta regulator, dengan perincian sebagai berikut : Kompor gas dengan merek rinnai 301. TDC 11 a, Winn Gas, Quantum 101 RB atau Niko 100 stainless steel, dengan masa penggunaan (lifetime) selama 5 tahun (60 bulan); Selang dan regulator dengan merk Indogas, Golden Gas, Todachi, atau MLS, dengan masa penggunaan (lifetime) selama 5 tahun (60 bulan).

Guna mengetahui nilai komponen gas yang digunakan selama 1 bulan dilakukan dengan rincian sebagai berikut : Konversi 1 liter minyak tanah setara 0,57 Kg gas; Harga gas yang digunakan setara dengan harga gas tabung isi 3 Kg; Kebutuhan 1 bulan komponen gas sebesar 5,7 Kg. Survey kompor gas (termasuk selang dan regulator) dan gas dilakukan ditoko sekitar pasar.

Disinilah awal mula munculnya kontradiksi atau ketimpangan hukum antara Surat yang dikeluarkan oleh Dirjen PHI dan Jamsostek diatas dengan kesepakatan DEPEPROV JATENG. Dimana melalui berita acara sidang pleno tertanggal 12 April 2010, DEPEPROV JATENG kembali melakukan interprestasi terhadap Surat Dirjend PHI dan Jamsostek tersebut diatas, dengan pertimbangan : Surat edaran Dirjend PHI dan Jamsos yang merekomendasikan penggunaan kompor gas selama 36 (tiga puluh enam) bulan tidak jelas indikator/spesifikasi kompor gasnya dan baru diterima tanggal 30 Maret 2010. Kesepakatan DPP Prop Jateng tanggal 23 Maret 2010 tentang kesepakatan Konversi minyak tanah ke Gas dalam komponen KHL telah disosialisasikan kepada 35 (tiga puluh lima) kabupaten/kota pada tanggal 25 s/d 26 Maret 2010 di Kabupaten Cilacap dan tanggal 30 s/d 31 Maret 2010 di Kota Semarang.

Padahal jelas disebutkan dalam ketentuan Pasal 21 Keppres 107 Tahun 2004 tugas Dewan Pengupahan Propinsi sebatas memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP); Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral (UMS); Penerapan sistem pengupahan di tingkat Provinsi. Serta menyiapkan bahan perumusan bagi pengembangan sistem pengupahan nasional.

Apakah DEPEPROV JATENG mempunyai kewenangan untuk membuat kesepakatan dan mengganti regulasi diatasnya? tentu saja tidak. Dan kesepakatan inilah yang kemudian menjadi rujukan atau dasar dari Dewan Pengupahan Kota/Kabupaten se Jawa Tengah dan Semarang pada khususnya untuk menjalankan tugasnya dalam melakukan survey harga dipasaran untuk mencari besaran KHL pada tahun 2010 yang akan digunakan sebagai dasar penetapan UMK pada tahun 2011 esok.

Artinya jika dikaitkan dengan tugas dari DEPEPROV berdasarkan Pasal 21 Keppres 107 Tahun 2004, kesepakatan yang dibuat oleh DEPEPORV JATENG jelas telah jauh melampaui kewenangannya. Terlebih jika dilihat dari kontruksi aturan hukum yang ada jelas telah terjadi beberapa kali perubahan aturan yang berdampak pada penurunan kualitas. Dimana Peraturan yang dibuat oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi bernomor 17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL diganti dengan dengan Surat Edaran dari Dirjen PHI dan Jamsostek bernomor B.149/PHIJSK/III/ 2010 tertanggal 17 Maret 2010 perihal konversi kompor minyak tanah ke kompor gas. Dan Surat dari Dirjen ini diganti dengan kesepakatan yang dibuat oleh DEPEPROV JATENG.

Inilah awal mula munculnya polemik dalam penetapan UMK di Kota Semarang pada khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya pada tahun 2011 esok. Terlebih lagi jika menilik data yang ada khususnya di Kota Semarang dengan adanya pemberlakuan konversi Minyak Tanah ke Gas ternyata Pekerja telah dirugikan dengan berkurangnya nilai KHL yaitu sebesar Rp. 12.727,- berdasarkan penghitungan KHL oleh DPC SPN Kota Semarang tanpa Konversi Minyak Tanah ke Gas diperoleh angka Rp. 976,639,13 (Baca Walikota Bisa Revisi UMK 2011, Suara Merdeka, Kamis, 20 Oktober 2010).

Namun apakah fakta ini telah disampaikan oleh Pemerintah tentu menjadi satu pertanyaan, mengingat persoalan ini cenderung dikaburkan dengan persoalan kenaikan nominal yang memberatkan pengusaha. Dan apakah fenomena carut marut regulasi ini sudah menjadi cirikas dari wajah bopeng hukum di negara Kita, tentu saja menjadi keprihatinan tersendiri.

REKOMENDASI TINDAKAN
Terkait dari apa yang telah diuraikan diatas, maka ada beberapa hal yang perlu direkomendasikan yang pertama terkait dengan konsistensi sikap dari Pemerintah sendiri. Bahwa regulasi sudah jelas bagaimana mengatur mekanisme penetapan UMK. Jadi tidak perlu untuk melakukan tindakan yang sifatnya keluar dari regulasi yang sudah ada, terlebih melakukan perubahan terhadap regulasi yang ada diatasnya oleh institusi yang dibawahnya, parahnya aturan dibawahnya justeru lebih rendah kualitasnya daripada aturan yang ada diatasnya. Karena jika demikian kejadiannya maka kebijakan penetapan UMK pada tahun 2011 yang sedianya diputuskan melalui Surat Keputusan oleh Gubernur Jawa Tengah, rentan untuk dilakukan gugatan hukum mengingat keabsahan dari mekanisme yang ada.

Kedua, mengingat relevansi dari Permenaker No. 17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL khususnya terhadap item-item survey yang ada mulai banyak dipertanyakan jika dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang sesungguhnya dari Pekerja di lapangan. Tentu saja hal ini butuh penyesuaian dan perubahan dari item-item tersebut, oleh karena itu Menteri Tenaga Kerja harus tanggap dengan persoalan ini, jangan sampai perubahan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak berkompeten untuk itu.

Dalam hal ini perlu diingatkan bahwa semangat dari dibuatnya aturan sebenarnya adalah untuk melindungi mereka yang lemah, namun kecenderungannya selama ini aturan dibuat untuk melindungi kepentingan dari mereka yang kuat yaitu Pengusaha. Dan apakah mandat dari Pemerintah untuk melindungi mereka yang lemah telah dilaksanakan dengan baik, tentu perlu pembuktian untuk menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar