Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Senin, 12 Mei 2014

Kemenangan Semu Kaum Buruh

Artikel Wacana Nasional : SUARA MERDEKA, 30 April 2014 

Oleh : Heru Budi Utoyo
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Kota Semarang    
                                     

"Hak pekerja kontrak dan tenaga alih daya terus digerus, menutup kesempatan mereka menjadi pekerja tetap"


SEJARAH kelahiran Hari Buruh Sedunia tidak terlepas dari perjuangan panjang pekerja pada awal abad ke-19 guna mendapatkan kendali ekonomi politis hak-hak mereka dalam hubungan industrial, terutama di negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Waktu itu buruh menuntut pengurangan lama jam kerja dari 19-20 jam per hari menjadi hanya 8 jam.
Lewat serangkaian aksi mogok kerja, mereka menuntut perubahan jam kerja dengan inti ’’8 Jam Kerja, 8 Jam Istirahat, dan 8 Jam untuk Rekreasi’’. Perjuangan mereka berhasil dengan ditetapkannya 8 jam kerja per hari, per 1 Mei 1886 di Amerika, dan tanggal itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Buruh Sedunia (May Day).
Momentum peringatan Hari Buruh seyogianya bisa menjadi ajang pembuktian janji-janji politik para caleg dan partai yang memenangi Pemilu 2014. Harapannya, mereka dapat mewujudkan kesejahteraan pekerja, termasuk menyelesaikan beberapa persoalan yang masih dihadapi buruh.
Pertama; makin banyak perusahaan menerapkan sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing) yang menjadikan kondisi buruh dari hari ke hari makin terjepit akibat ketidakpastian kerja, keminiman lapangan kerja, dan rendahnya posisi tawar di hadapan pengusaha. Sistem kontrak dan alih daya secara sistematis akan menghilangkan hak-hak buruh.
Hak itu semisal menyangkut kesejahteraan dan keberlangsungan kerja mengingat mereka akan kesulitan mencari kerja setelah berakhirnya kontrak karena faktor usia. Secara politis mereka juga akan kehilangan haknya berorganisasi secara bebas setelah kontrak kerjanya berakhir.
Hak-hak pekerja kontrak dan tenaga alih daya terus digerus, menutup kesempatan mereka menjadi pekerja tetap. Selain itu, menaburkan kecemburuan sosial antara pekerja tetap dan pekerja kontrak. Pekerja kontrak masih dihadapkan persoalan kepastian kerja, dan tiap individu harus berjuang sendiri untuk mendapatkan perpanjangan kontrak.
Kedua; keminiman upah yang masih jauh dari nilai penghidupan layak sebagaimana diamanatkan undang-undang. Mekanisme survei berikut semua item dalam Permenakertrans Nomor13 Tahun 2012 belum mengakomodasi kebutuhan hidup secara riil bagi buruh. Upah yang diterima mendasarkan upah minimum yang menggunakan standar kebutuhan buruh lajang. Faktanya, 52% lebih buruh sudah berkeluarga. Bahkan Provinsi Jawa Tengah ini mendapat tiga predikat terendah dalam mewujudkan upah layak. Tiga hal yang masih tertinggal dari provinsi lain tersebut menyangkut upah buruh di tingkat kota/kabupaten, upah buruh di kota metropolitan, dan upah rata-rata buruh. Fakta itu seharusnya mendapat perhatian dari pemprov.
Ketiga; berkurangnya kesejahteraan yang diterima buruh, seperti tunjangan makan, uang transpor, dan jaminan sosial. Hal itu tidak diimbangi dengan pemenuhan terhadap hak-hak lain, semisal hak buruh perempuan yang terabaikan, seperti hak cuti haid, cuti melahirkan, cuti keguguran, dan hak menyusui bayi. Kadang buruh perempuan dipaksa bekerja melebihi jam tanpa dihitung lembur mendalihkan supaya bisa memenuhi target.
Keempat; mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Regulasi yang menyebutkan sebagai cara mudah dan murah untuk menyelesaikan persoalan antara buruh dan pengusaha ternyata tetap menyisakan kerumitan.
Trauma Buruh
Proses penyelesaian perselisihan dimulai dari perundingan bipartit, mediasi, hingga pengadilan hubungan industrial (PHI) butuh waktu cukup lama, bertele-tele, dan biaya tidak sedikit. Akibatnya, buruh malas menempuh cara itu, bahkan berisiko mengalami trauma ketika mempunyai permasalahan yang dibawa hingga pengadilan hubungan industrial. Terlebih andai sampai proses kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Berbagai persoalan yang hingga saat ini belum berpihak pada buruh menunjukkan betapa lemah posisi tawar mereka. Realitas itu membutuhkan peran konkret pemerintah, termasuk pemda, dalam melindungi buruh, semisal lewat peraturan dan perundang-undangan yang melindungi buruh dan haknya.
Kepala daerah seyogainya menggariskan kebijakan yang tidak merugikan buruh, serta melalui Disnakertrans melakukan pengawasan dan menerapkan ketegasan pemberian sanksi terhadap pengusaha yang melanggar hak buruh. Selain itu, serikat pekerja/buruh dituntut bekerja lebih keras lagi untuk membangun kesadaran dan solidaritas guna memperjuangkan nasib buruh.
May Day merupakan hari kemenangan buruh, termasuk di Indonesia, namun sebenarnya sekaligus menjadi ujian bagi buruh. Hal itu mengingat pada peringatan hari kemenangan, buruh masih menghadapi berbagai persoalan menyangkut pemenuhan hak dan kesejahteraan. Tapi minimal peringatan tahun ini dapat menjadi momentum bagi buruh untuk membangun kekuatan.
Harapannya, kekuatan baru tersebut mempunyai daya dobrak sebagaimana kekuatan yang terbangun pada abad ke-19. Bagi buruh di Indonesia, perjuangan secara terus-menerus dengan tetap di dalam koridor perundang-undangan niscaya dapat membawa ke perubahan yang lebih baik, dan buruh bisa menikmati kesejahteraan yang lebih memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar