Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Jumat, 19 Oktober 2012

UMK 2013 (2-Habis) Bersahabat dengan Baju Bekas dan Mi Instan

Suara Merdeka "Semarang Metro"
20 Oktober 2012
 
AZAN Subuh baru saja berkumandang. Suasana sebuah kos-kosan yang tidak jauh dari kawasan industri itu pun mulai menampakkan kehidupannya. Empat perempuan berkalung handuk terkantuk-kantuk mengantre di depan dua kamar mandi yang ada di sudut komplek kos-kosan berbentuk U itu.

Dari sebuah kamar, tiba-tiba pecah tangisan bayi, diikuti gerutuan laki-laki tentang seragam kerjanya yang pesing terkena ompol. Seorang perempuan yang tak lain istri laki-laki itu menengahi dengan lembut suaranya yang menenangkan.
”Uwis to mas, di lemari kan masih ada seragam yang lama. Yang ini nanti tak cucikan, kebetulan hari ini aku libur. Siang nanti aku juga mau antar adik ke posyandu.”

Di sudut lain, seorang perempuan berambut pendek malas-malasan beranjak dari dipan sempit yang hanya muat satu orang. Pakaian kotor di sudut kamar dibiarkan berserakan. Tak peduli dengan rambutnya yang masih acak-acakan, langsung disambarnya handuk dari jemuran.

Tahu antrean masih panjang, Sri Rejeki (24) berbelok ke dapur. Perempuan kelahiran Klaten 24 tahun lalu itu kemudian sibuk membuat mi instan. ”Hampir lima tahun, sarapannya mie instan. Gimana lagi, gajinya hanya cukup untuk ini.

Beli pakaian juga kuatnya di awul-awul (pakaian bekas),” kata Sri.
Sebagai buruh pabrik garmen, Sri menerima gaji sesuai upah minimum kota Semarang. Penghasilan di bawah satu juta rupiah itu tidak cukup kebutuhan harian.

Uang lembur pun sering digunakan untuk membayar utang. Bahkan, tiga bulan terakhir Sri terpaksa tidak mengirim uang ke kampung untuk membantu biaya sekolah dua adiknya.

Akan tetapi perempuan lulusan SMA itu sudah bersyukur bisa tinggal di kamar kos. Meski berukuran 2 x 3 meter dan tanpa fentilasi udara, menurutnya, jauh lebih baik daripada mes pabrik berukuran 3 x 4 yang dihuni empat orang.
”Jujur saja, kalau dibilang tahan sebenarnya tidak tahan juga. Tapi mau bagaimana lagi, mencari pekerjaan sekarang susah. Mau protes ya tidak berani, akhirnya ya pasrah dan dijalani saja,” ujarnya.

Jika UMK untuk Sri yang masih single saja tidak cukup, apalagi untuk Irmadi (43) yang sudah berputera dua. Buruh pabrik manufaktur di kawasan Tambakaji itu harus dibantu istrinya yang berjualan pecel di sebelah rumah. ”Cukup tidak cukup ya harus cukup. Makan tiap hari sama tempe,” katanya.

Yang paling membuat nggregel adalah ketika tidak bisa seketika memberi uang untuk anak-anaknya membeli buku. Biasanya Irmadi baru bisa membelikannya sebulan kemudian. Belum lagi kalau harus nyumbang untuk kondangan atau pengeluaran mendadak lain.

Untungnya Irmadi sudah terdaftar sebagai penerima Jamkesmaskot sehingga tidak terlalu pusing jika ada yang sakit.
”Nyumbang orang nikah, iuran kampung itu kan tidak masuk dalam perhitungan UMK. Tapi itu pengeluaran wajib juga karena kita hidup bertetangga,” ujar pria asli Magelang itu.

Hal senada juga disampaikan Heri (26) warga Kabupaten Godong yang bekerja di sebuah industri bahan bangunan. Meski gaji yang ia terima Rp 1 juta lebih, dihitung dengan kebutuhan hidup layak (KHL) di Kota Semarang tidaklah mencukupi. Apalagi statusnya telah berkeluarga. ”Kerja disini over, masuk jam 07.00 dan keluar pukul 05.00, waktunya habis, karena kerja juga over tenaga. Kalau dihitung dengan beban kerja tidak sebanding. Susahnya, kalau ingin membeli baju, sepatu atau ketika motor rusak. Sementara ya harus bertahan dulu,” katanya. (Muhammad Syukron, Adhitia Armitrianto, Anton Sudibyo—39) j
(/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar