Artikel Wacana Lokal Suara Merdeka (13/10/12)
- Oleh Heru Budi Utoyo
Perdebatan panjang terkait dengan konversi minyak tanah ke gas
dalam konteks pengupahan, bisa dikatakan selesai tahun ini. Polemik itu
mendasarkan pada Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Nomor
B.149/PHIJSK/III/2010 tentang Konversi Kompor Minyak Tanah ke Kompor
Gas, yang kemudian menganulir salah satu item dalam Permenakertrans
Nomor 17 Tahun 2005
Hal itu karena regulasi penggantinya, yakni Permenakertrans Nomor 13
Tahun 2012 tentang Komponen Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) menambah 14 item komponen tentang kebutuhan dan 8 item
komponen soal penyesuaian KHL.
Yang terpenting adalah tercapainya kesepakatan mengganti komponen
kompor minyak tanah menjadi kompor gas, salah satu butir yang dipakai
untuk menyurvei KHL. Penambahan dan penyesuaian komponen itu jangan
dianggap sebagai masalah baru tetapi justru menjadi momentum bagi
pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja/ serikat buruh (SP/ SB) untuk
bersama-sama mmperbaiki kondisi pengupahan, khususnya di Jateng.
Perbaikan tersebut bisa diawali dengan mengimplementasikan tambahan
14 item komponen kebutuhan. Khusus menyangkut 8 item penyesuaian, perlu
ada penyelarasan jenis komponen yang dibutuhkan, sebagaimana isi
Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012.
Contohnya, ketentuan kamar sewa yang benar-benar masuk kriteria
kebutuhan hidup layak, yaitu berukuran 3 x 5 m. Kemudian, daya listrik
900 kWh untuk penerangan, rice cooker, seterika dan sebagainya.
Perhitungan itu harus benar-benar mendasarkan bahwa seorang pekerja
menggunakan daya listrik itu untuk beberapa barang elektronik tersebut.
Membandingkan dengan regulasi lama, Permenakertrans yang baru, yang
menambah 14 item (dari 46 menjadi 60) sesungguhnya belum mengakomodasi
kebutuhan riil pekerja/ buruh. Pasalnya, survey Akatiga dan SPN
menyebutkan bahwa pekerja/ buruh baru bisa dikatakan hidup secara layak
bila terpenuhi 122 item kebutuhannya.
Namun saat ini setidak-tidaknya serikat pekerja/ serikat buruh
(SP/SB) bisa memahami bahwa regulasi baru itu bisa menjadi jawaban atas
persoalan dua tahun sebelumnya, yang terkait dengan peraturan lama.
Ketegasan Pemda
Kini masyarakat hanya butuh ketegasan pemerintah menjalankan regulasi
itu, mengingat Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 yang diundangkan
pada 10 Juli 2012 menggugurkan Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005.
Artinya, hasil survei dewan pengubahan kota/ kabupaten yang mendasarkan
regulasi lama, tak bisa dipakai sebagai pertimbangan usulan UMK tahun
2013.
Namun penyikapan tiap kota/ kabupaten di Jateng berbeda-beda sehingga
hasil akhirnya pun berbeda. Bagi Kota Semarang yang tiap tahun menemui
persoalan terkait penetapan KHL dan UMK, dewan pengupahan dan LKS
tripartit sudah mencari terobosan guna mencari solusi untuk perbaikan sistem pengupahan. Langkah konkretnya, awal Agustus
2012 menyusun beberapa kesepakatan.
Contohnya, berdasarkan hasil survei mengenai KHL bulan lalu di 5
pasar, kita bisa menemukan angka rata-rata KHL pada September 2012
adalah lebih dari Rp 1,2 juta. Jadi idealnya, usulan upah minimum kota/
kabupaten 2013 harus menggunakan besaran hasil survei KHL yang mengacu
Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 ditambah prediksi kenaikan Desember
2012 dan mempertimbangkan laju inflasi tahun berjalan.
Sesungguhnya, UUD 1945 dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sudah mengamanatkan pemberian upah layak bagi buruh/
pekerja. Langkah konkretnya adalah memperbaiki sistem pengupahan dengan
melaksanakan secara konsekuen Permenakertrans. Bila pemerintah, termasuk
Pemprov Jateng, konsisten dan tegas menjalankan regulasi, langkah itu
akan mengurangi gejolak persoalan terkait pengupahan di provinsi ini.
(10)
— Heru Budi Utoyo, Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kota Semarang, Koordinator Gerakan Buruh Semarang (Gerbang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar