Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Jumat, 04 Mei 2012

RUU BPJS : Demi Rakyat atau Kepentingan Asing

Sumber : GATRAnews

Kontroversi pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus merebak. Kegagalan dalam menyepakati poin-poin yang tertera di RUU tersebut pada rapat dengar pendapat antara pemerintah dan anggota DPR, Jum`at (15/7) malam, membuat nasib pembentukan BPJS jadi terkatung-katung.

Seharusnya, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional mengamanatkan RUU BPJS tuntas Oktober 2010. Namun, dalam pembahasan pada dua kali masa sidang DPR-RI, belum juga tercapai kata sepakat antara pemerintah dan anggota dewan. Padahal, UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, mengatur pembahasan RUU dilakukan paling lama dua kali masa sidang, dengan perpanjangan waktu satu kali. Karena itu, masa sidang ini menjadi tenggat terakhir untuk pembahasan RUU BPJS.

Saat ini, RUU BPJS masih terganjal oleh perbedaan pendapat antara Menteri Keuangan dan Menteri BUMN terkait transformasi empat BUMN, yakni PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri, dan PT Askes. Ketua Panja RUU BPJS Ferdiansyah menilai, perbedaan pendapat antara Menkeu dan Menteri BUMN seharusnya bisa diselesaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Presiden harus turun tangan memanggil para menterinya supaya RUU ini bisa selesai tepat waktu," ungkapnya.

Ferdiansyah menyesalkan rapat RUU BPJS yang deadlock pada Jum`at (15/7). Melalui surat yang dilayangkan Sekjen Kementerian Keuangan, di sebutkan bahwa para menteri tidak dapat hadir di DPR karena mengikuti rapat kabinet.

Rapat rencananya akan digelar lagi hari ini. Jika siang ini pihak pemerintah tidak hadir juga, maka UU BPJS bakal gagal disahkan. Sebab, Selasa (19/07/2011) sudah masuk agenda rapat paripurna. Itu berarti rencana pembentukan BPJS bakal tertunda hingga 2014, setelah pemilihan umum berjalan dan DPR diisi anggota-anggota baru.

Biang kegagalan, disinyalir lantaran pemerintah bersikukuh menolak melakukan tranformasi empat BUMN (Askes, Jamkesmas, Asabri dan Taspen) ke dalam BPJS. Transformasi yang dimaksud adalah menggabungkan empat BUMN itu menjadi satu wadah baru, sesuai amanat dalam pasal di RUU BPJS.

Sikap ngotot pemerintah itu, ditengarai oleh Rieke Dyah Pitaloka, lantaran besarnya dana di keempat BUMN tersebut, yang mencapai Rp 190 triliun. "Entah uang itu mau ditahan, atau dana itu sudah lari kemana-mana," ujar politisi PDI Perjuangan itu. Rieke justru mendapat informasi tentang dana tersebut dari pemerintah dalam rapat dengan DPR. Dari Rp 190 triliun, sekitar Rp 126 triliun dana milik Jamsostek dan Askes Rp 10 triliun. Siasanya milik Taspen dan Asabri. "Ini dana yang murni uang rakyat, yakni buruh PNS, TNI dan Polri," ujarnya.

Rieke juga mengaku telah mengendus ketidak beresan manajemen di empat BUMN itu. "Saya sudah mendapat bukti-bukti adanya penyimpangan, terutama di Jamsostek," ungkanya. Ia mengaku sudah melihat Rencana Kerja dan Anggaran (RKAP), dan kini sedang menelusuri penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

Anggota Pansus RUU BPJS lainnya, Sri Rahayu, juga mempertanyakan kealotan pemerintah dalam melakukan transformasi. Padahal, transformasi empat BUMN itu tidak sulit. "Apakah ada sesuatu yang disembunyikan pemerintah dibalik BUMN tersebut?" tanya Sri.

Di pihak lain, kegetolan anggota DPR untuk menggolkan RUU BPJS, juga dinilai mengandung misi tertentu. Ibarat pepatah ‘ada udang dibalik batu’, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aliansi Masyarakat Peduli Jaminan Sosial mencurigai, ada kepentingan tertentu dibalik pengesahan RUU BPJS tersebut. Aliansi Masyarakat Peduli Jaminan Sosial terdiri terdiri dari aktivis buruh, aktivis pro demokrasi dan aktivisi mahasiswa, yang beranggotakan 40 lembaga, termasuk Dompet Dhuafa, ICW, INFID, PSHK, Walhi, FITRA, HUMA, Lakpesdam NU, LSPP, Maarif Institute, YLKI, Kalyanamitra, serta LBH Jakarta.

Gabungan LSM tersebut menilai, RUU BPJS secara gamblang mengandung muatan yang menjadi pintu masuk kepentingan pihak asing. Dalam konfrensi pers di Taman Ismail Marzuki, Minggu (17/7/2011), Lukman Hakim, Fatkol Kholik, dan Sya’roni dari Aliansi Masyarakat Peduli Jaminan Sosial menyebutkan bahwa pintu masuk asing dalam RUU BPJS itu adalah soal badan hukum BPJS yang tidak di bawah struktural penguasaan negara. "Sehingga akan mudah direbut pihak asing," ungkap Lukman.

Soal peleburan empat BUMN yakni Jamsostek, Taspen, Askes dan Asabri menjadi BPJS, juga dipastikan akan menjadi daya tarik yang menggiurkan bagi pihak asing untuk menguasainya. Mengingat totoal asetnya yang hampir mencapai Rp200 triliun. "Ingat, itu adalah dana peserta, yang terdiri dari buruh, pekerja, PNS, dan TNI/Polri," ungkapnya.

Paling menyedihkan, menurut Lukman, adalah rencana menarik iuran dari rakyat. "Semestinya, tugas negara menanggung jaminan sosial bagi rakyat. Bukan membebankannya kepada rakyat, yang saat ini saja sudah banyak terbebani dengan berbagai iuran seperti pajak, retribusi, dan beban biaya hidup yang semakin melambung," ujarnya

Ketiga pentolan LSM, yang, itu sepakat, jika negara ini ingin memberikan jaminan sosial kepada rakyat miskin, maka dirikanlah BPJS khusus rakyat miskin, yang semua dana operasionalnya ditanggung oleh negara. Mereka mengaku tidak menolak jaminan sosial. "Kami hanya anti jaminan sosial berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 dan RUU BPJS. Ini merupakan arahan dan titipan dari asing," kata Lukman.

Menurut Agus Mulyono, juga salah satu aktivis Koalisi Masyarakat Peduli Pelayanan Publik, seharusnya jaminan sosial tidak hanya membahas persoalan kesehatan dan asuransi yang sudah ditarik sedemikian rupa menjadi usaha asuransi yang dilegalkan negara tanpa paradigma jaminan sosial.

Agus juga mengkritisi sejumlah kelemahan dan kekurangan dalam RUU BPJS, antara lain transparansi dan akuntabilitas, kompetensi penyelenggara jaminan sosial, serta sanksi dan insentif dalam pelaksanaan layanan masyarakat itu. "Bila satu orang iuran Rp10.000, atau kesehatan Rp7.000, dikali 200 juta sudah triliunan. Nah, dalam BPJS tidak ada prosedur secara detail bagaimana pengelolaan yang transparan dan akuntabel," ujar Agus.

Kapasitas penyelenggara pemberi jaminan sosial juga perlu ada pembenahan. Karena yang terjadi selama ini, masyarakat selalu mendapat masalah untuk mendapatkan jaminan atau penggantian uang yang telah dikeluarkan untuk biaya kesehatan. "Bayarnya gampang, klaimnya susah," cetus Agus.

Kelemahan lainnya, dalam RUU BPJS tidak dijelaskan mengenai sanksi yang dirancang dalam RUU itu atas personel BPJS yang melanggar aturan, atau insentif bagi yang berprestasi.

Sejatinya, dalam kondisi sekritis apa pun, menurut J. Prastowo dari Divisi Penelitian dan Pengembangan Driyarkara dan Komunitas Pascasarjana STF Driyarkara, negara wajib menyediakan dua hal bagi warga negaranya yakni menjamin rasa aman dan menyediakan infrastruktur.

Selama ini, proses legislasi di Indonesia tidak pernah menjadikan faktor antropologis sebagai salah satu dasar pertimbangan penyusunan sebhuah regulasi. "Tidak ada rumusan manusia seperti apa yang menjadi obyek sekaligus subyek suatu aturan. Manusia yang tinggal di Aceh atau Papua, aturannya jelas berbeda," ungkap Prastowo .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar