Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Sabtu, 29 Januari 2011

Artikel ; "Upah layak ; Presiden Versus Buruh"

KORAN TEMPO – Sabtu, 29 Januari 2011

Oleh : Rina Herawati

Berapakah gaji (=upah) yang layak bagi Presiden Indonesia? Pertanyaan ini tampaknya sedang menjadi pekerjaan rumah bagi Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Menteri Keuangan menyatakan (di Tempo Interaktif, 25 Januari 2011) bahwa pada tahun ini, gaji presiden bersama sekitar 8.000 pejabat publik akan dinaikkan. Tetapi, mengenai berapa kenaikannya, itu masih dalam perhitungan, antara lain dengan mempertimbangkan biaya hidup di tiap daerah.

Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Achsanul Qosasi, tampaknya adalah pendukung rencana ini. Achsanul (di Kompas, 26 Januari 2011) membandingkan gaji presiden dengan gaji sejumlah direktur utama badan usaha milik negara. Menurut dia, gaji presiden sekarang kalah oleh gaji sejumlah direktur utama BUMN, padahal direktur utama itu diangkat oleh pemerintah. Gaji presiden selama tujuh tahun terakhir ini “hanya” Rp 62,7 juta per bulan atau setara dengan Rp 752,4 juta per tahun.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk ikut larut dalam perdebatan mengenai “besaran” gaji yang layak bagi presiden. Berapa besarnya, adalah sebuah keputusan politik. Tetapi, sebagai sebuah keputusan politik, masalah timing (saat) juga harus diperhitungkan. Apakah sekarang ini merupakan saat yang tepat untuk menaikkan gaji presiden?

Bahwa gaji presiden lebih rendah daripada gaji Gubernur Bank Indonesia (pada 2006 sebesar Rp 265 juta per bulan) yang secara struktural berada di bawahnya, logika awam pun akan setuju bahwa itu salah. Gaji Presiden seharusnya lebih tinggi daripada gaji Gubernur Bank Indonesia, juga lebih tinggi dibanding semua direktur utama BUMN, dibanding menteri-menteri, dibanding gubernur ataupun bupati. Tetapi apakah kesalahan itu harus dilengkapi dengan kesalahan lainnya, yaitu menaikkan gaji presiden pada saat ini?

Upah buruh

Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menaikkan gaji presiden. Mengapa tidak? Setidaknya ada dua hal yang selayaknya dipertimbangkan oleh pemerintah. Pertama, saat ini di Indonesia masih ada 31,02 juta penduduk miskin dengan perhitungan garis kemiskinan Rp 200.262 per bulan atau setara dengan Rp 2,4 juta per tahun (sekitar US$ 0,5 per hari). Bagi rakyat dalam kelompok ini, percayalah, sungguh menyakitkan mengikuti perdebatan mengenai kenaikan gaji presiden yang sekarang “hanya” Rp 752,4 juta per tahun.

Kedua, tenggelam dalam hiruk-pikuk perdebatan kenaikan gaji presiden, sejak Desember 2010 hingga saat ini, Januari 2011, ribuan bahkan ratusan ribu buruh sedang berjuang agar perusahaan tempatnya bekerja mau melaksanakan UMK (upah minimum kabupaten/kota) yang telah ditetapkan pada Desember 2010, yang besarnya rata-rata Rp 1 juta per bulan, atau Rp 12 juta per tahun. Untuk wilayah Jawa Barat, UMK terendah adalah Kota Banjar dengan Rp 732 ribu per bulan, sedangkan UMK tertinggi adalah Kota Bekasi sebesar Rp 1,275 juta per bulan.

Selama ini, besaran UMK ditetapkan oleh Dewan Pengupahan di masing-masing kota/kabupaten. Dewan pengupahan ini terdiri atas unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh. Salah satu alat untuk menentukan besaran UMK adalah survei pasar atas harga kebutuhan pokok. Namun, pada akhirnya, nilai UMK adalah hasil tawar-menawar di antara ketiga pihak tersebut, sehingga banyak pengamat yang menyatakan bahwa UMK tidak lain adalah produk politik.

Apakah UMK sebesar Rp 1 juta per bulan (= Rp 12 juta per tahun) itu layak bagi buruh? Sebelum menjawab ini, satu hal yang pasti, UMK itu masih jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita per tahun rakyat Indonesia, yang besarnya sekitar $ 3.000 pada 2010 (sumber: BPS). Untuk buruh lajang yang tidak memiliki tanggungan, UMK itu besarnya hanya 44 persen dari rata-rata pendapatan per kapita per tahun. Sedangkan bagi buruh yang sudah menikah dan memiliki dua anak, UMK itu besarnya hanya 11 persen dari rata-rata pendapatan per kapita. Apa artinya? Artinya, taraf penghidupan buruh di Indonesia sangat jauh di bawah rata-rata taraf penghidupan rakyat Indonesia. Angka itu sekaligus menunjukkan lebarnya kesenjangan tingkat kesejahteraan antara kelompok kaya dan kelompok miskin (termasuk buruh di dalamnya).

Lalu, berapa upah yang layak bagi buruh? Penelitian AKATIGA-Pusat Analisis Sosial Bandung dengan Serikat Pekerja Nasional (SPN) pada 2009 memperlihatkan bahwa upah layak bagi buruh lajang adalah Rp 2,45 juta per bulan atau Rp 29,4 juta per tahun. Sedangkan rata-rata upah layak (untuk lajang dan berkeluarga) sebesar Rp 4,07 juta per bulan atau Rp 48,84 juta per tahun. Bandingkan dengan gaji presiden saat ini sebesar Rp 752,4 juta per tahun. Upah layak buruh itu hanya 6,5 persen dari gaji presiden saat ini.

Apa yang menjadi ukuran layak bagi buruh? Penelitian AKATIGA-Pusat Analisis Sosial Bandung dengan SPN mengusulkan ukuran layak (=KHL = kebutuhan hidup layak) yang “agak” lebih maju dibandingkan dengan ukuran KHL yang selama ini digunakan oleh Dewan pengupahan untuk menentukan UMK. Selama ini penentuan KHL mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-17/Men/VIII/2005 yang di dalamnya termuat 46 komponen KHL. Sedangkan AKATIGA dan SPN mengajukan 79 komponen tambahan untuk menghitung KHL dan perubahan kualitas komponen. Komponen tambahan itu antara lain biaya pendidikan anak (berupa pembayaran SPP, pembelian baju seragam, buku pelajaran dan biaya transportasi ke sekolah), sebab, siapa bilang sekolah itu gratis? Sedangkan perubahan kualitas komponen KHL antara lain adalah perubahan dari sewa kamar sederhana yang diubah dengan pembelian secara kredit rumah sederhana tipe 27/72. Apabila kebutuhan-kebutuhan itu terpenuhi, bolehlah buruh disebut hidup layak. Sekarang ini, dengan upah rata-rata Rp 1 juta per bulan, kehidupan buruh masih jauh dari layak.

Kepantasan

Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Achsanul Qosasi, (Kompas, 26 Januari 2011) mengatakan bahwa masih banyaknya rakyat miskin di Indonesia tak bisa dijadikan alasan untuk tak menaikkan gaji presiden. Semoga Menteri Keuangan Agus Martowardojo tidak berpikir demikian. Alangkah bijaksananya bila saat ini pemerintah lebih berfokus pada upaya meningkatkan taraf hidup penduduk miskin (dan bukan sekadar menurunkan angka kemiskinan yang secara kasar dilakukan dengan menurunkan garis kemiskinan yang idealnya US$ 2 per hari menjadi US$ 0,5 per hari).

Pemerintah juga harus terus berupaya memperluas lapangan kerja tanpa mengorbankan upah buruh yang sudah rendah. Apabila kedua soal tersebut sudah bisa diatasi, bolehlah kita mendiskusikan berapa gaji (=upah) yang layak untuk presiden.

Rina Herawati, Peneliti perburuhan di Akatiga- Pusat Analisis Sosial Bandung

~ oleh kp2kknjateng pada Januari 29, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar