Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Senin, 07 November 2011

Menunggu Upah Layak dan Ideal

Sumber :Wacana Lokal Suara Merdeka
29 Oktober 2011

”Apabila survei mendasarkan pada Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005 ditambah prediksi laju inflasi akan diperoleh angka KHL Rp1,4 juta lebih”

SEBERAPA besar kenaikan upah minimum kota (UMK) di Kota Semarang tahun 2012? Pertanyaan itu selalu disampaikan oleh pekerja/ buruh pada saat ini mengingat putusan mengenai upah sangat ditunggu layaknya sebuah harapan. Tanggal 26 Oktober lalu, rapat pembahasan upah minumum yang diselenggarakan Dewan Pengupahan Provinsi Jateng di kantor Disnakertransduk menemui jalan buntu karena 8 kabupaten/ kota, termasuk Kota Semarang, belum menyepakati nominalnya.

Selain untuk peningkatan kesejahteraan hidup, upah diharapkan menjadi sarana peningkatan produktivitas kerja bagi pekerja/ buruh, dan hal inipun tentunya sangat dibutuhkan dalam konteks hubungan industrial karena pekerja dan pengusaha sama-sama berkepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama melalui peningkatan produktivitas.

Pertanyaan mengenai besarnya upah minimum sebenarnya merupakan hal yang wajar namun pertanyaan itu sering menjadi perdebatan dan memunculkan polemik antara serikat pekerja/ serikat buruh di satu sisi dan Apindo, pengusaha, pemerintah, dan akademisi di sisi yang lain.

Penentuan kelayakan upah sesungguhnya telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (Pasal 88 UU Nomor 13 Tahun 2003) dan untuk mewujudkannya pemerintah menerbitkan Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005 tentang Komponen Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup yang Layak.

Peraturan itu hingga saat ini dipakai oleh dewan pengupahan kota/ kabupaten untuk mensurvei

kebutuhan hidup layak (KHL). Namun sayangnya dalam dua tahun terakhir ini, dewan pengupahan tidak murni menggunakan dasar Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005 yang salah satu item -nya menyebutkan kompor minyak tanah digantikan dengan kompor gas yang menyebabkan turunnya nilai KHL di Kota Semarang pada khususnya dan kota/ kabupaten lain di Jateng pada umumnya.

Dalam konteks ini, mekanisme kerja yang ditempuh dewan pengupahan dianggap inkonstitusional, khususnya menyangkut perubahan item survei dari minyak tanah ke gas. Persoalan ini berawal dari keluarnya surat Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Dirjen PHIJSK) Nomor B149/PHIJSK/III/2010 perihal Konversi Kompor Minyak Tanah ke Kompor Gas yang menganulir salah satu item di Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005.

Peningkatan Nominal

Ironisnya, ada kesepakatan di dewan pengupahan provinsi yang menganulir Surat Dirjen PHIJSK itu terkait dengan masa penggunaan kompor gas dari 3 menjadi 5 tahun. Kebijakan itu tidak sesuai dengan kewenangan dewan pengupahan provinsi sebagaimana diatur dalam Keppres Nomor 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan.

Inti permasalahannya adalah regulasi yang dibuat perangkat di atas (menteri) bisa dianulir oleh regulasi yang dibuat pejabat di bawahnya (dirjen) dan dewan pengupahan.

Persoalan lainnya adalah bahwa penetapan UMK dari tahun ke tahun selalu ketinggalan kereta mengingat upah yang diterima dan dibelanjakan untuk perhitungan tahun depan selalu mendasarkan pada survei harga kebutuhan yang dilakukan tahun sebelumnya, tanpa mempertimbangkan laju inflasi tahun depan. Akibatnya, buruh sepertinya tak pernah mengalami kenaikan upah tetapi hanya peningkatan penerimaan nominal yang disesuaikan dengan kebutuhan harga pasar yang disurvei tahun sebelumnya.

Apabila survei tahun ini mendasarkan pada Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005 ditambah prediksi laju inflasi tahun depan maka akan diperoleh angka KHL Rp1,4 juta lebih, dan itu merupakan upah layak dan ideal 2012 untuk Kota Semarang pada khususnya dan Jateng pada umumnya.

Kini bola upah layak ada di tangan pemerintah sebagai regulator penetapan upah yang melindungi pekerja sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun 2003. Bila pemerintah merespons secara positif, dengan terpenuhinya upah layak di provinsi ini maka produktivitas akan meningkat, kualitas tenaga kerja membaik, dan daya beli masyarakat pun meningkat sehingga bisa menurunkan angka kemiskinan dan mengurangi pengangguran yang akan membantu perekonomian daerah. (10)


— Heru Budi Utoyo, Ketua DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kota Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar