Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Rabu, 17 November 2010

Artikel ; PENGARUH SiSTEM KERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING TERHADAP MASA DEPAN GERAKAN SERIKAT PEKERJA

Oleh : Heru Budi Utoyo

Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia sesungguhnya sistem kerja kontrak sudah dikenal sejak tahun 1986 dengan terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No.5 tahun 1986 dan begitu juga sistem outsourcing yang diakui sejak terbitnya Permenaker No.2 tahun 1993. Lebih lanjut dalam perkembangannya kedua model/sistem kerja tersebut masuk dalam perumusan/rancangan Undang-undang Ketenagakerjaan (UUK) di Indonesia yang merupakan sebuah konsep Fleksibelitas pasar kerja.
Bergulirnya rancangan UUK itu sendiri sebenarnya sejak awal telah mengalami berbagai penolakan dan polemik baik dari kalangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) maupun Pengusaha. Salah satunya terkait dengan munculnya sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau yang sering disebut dengan istilah pekerja kontrak dan Outsourcing yang ditolak oleh SP/SB, sedangkan para Pengusaha juga menolak rumusan tentang pemberian pesangon kepada Pekerja. Namun pada kenyataannya rancangan UUK tersebut tetap dishahkan oleh Presiden Megawati Sukarnoputri pada tahun 2003, dan menjadi Undang Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.
Pada awalnya perusahaan cukup ketat dalam menjalankan praktik sistem kerja kontrak dan outsourcing. Mereka masih taat dengan regulasi yang ada dalam UUK No.13/2003, dengan menjalankan sistem ini terpisah dari kegiatan utama dan sebatas penunjang pada sebagian saja. Misalnya untuk jasa kebersihan, bukan merupakan keseluruhan dari proses produksi perusahaan. Sehingga harapannya bisa fokus berkompetisi pada inti bisnisnya. Namun dalam perkembangannya, akibat lemahnya sistem pengawasan dan ketegasan dalam pemberian sanksi dari pemerintah dalam hal ini Dinas tenaga kerja dan transmigrasi (Disnakertrans), maka pihak Pengusaha akhirnya berani mempraktikkan pola rekruitmen pekerja dengan sistem kontrak dan outsourcing hingga ke semua sektor.
Penyimpangan sistem kerja kontrak dan outsourcing saat ini semakin menjadi-jadi, dibeberapa wilayah industri saat ini marak sistem kerja dengan cara home industri. Contoh, pada salah satu perusahaan sepatu, untuk sebagian pekerjaan seperti menjahit sol sepatu dipekerjakan oleh ibu-ibu yang bertempat tinggal disekitar perusahaan dengan sistem borongan. Secara tidak langsung kondisi ini semakin memperparah perlindungan kepada pekerja dan perusahaan banyak diuntungkan seperti tidak harus menyediakan MCK, sarana transportasi antar jemput, tidak usah memberikan hak cuti (haid, melahirkan/gugur kandungan, libur tahunan) dll.
Diakui bahwa kondisi ini sebenarnya dampak dari melimpahnya jumlah pencari kerja yang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan. Bahkan dari beberapa diskusi justeru pencari kerja sendiri terlena dengan sistem ini, mereka mengatakan walaupun dikontrak bertahun-tahun tapi mereka berfikir yang penting dapat kerja dan pekerja outsourcing merasa tidak usah mencari kerja sendiri tapi sudah dicarikan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja itu sendiri. Alhasil, bisnis jasa pengerah tenaga kerja menjadi ladang yang menggiurkan.
Sistem kerja kontrak yang didalam UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 pasal 56 diistilahkan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), sedangkan Outsourcing itu sendiri diatur pada pasal 64 “ Perusahaan dapat menyerahkan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis “ atau dapat diartikan sebagai “alih daya”, dalam hukum ketenagakerjaan difahami sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja yang semula dimaksud sebagai efisiensi biaya produksi di mana perusahaan menghemat pengeluaran dalam membiayai sumberdaya manusia. Mereka lebih untung memberi fee kepada agen penyalur atau vendor ketimbang harus mengongkosi buruh formal (pekerja tetap). Apalagi kalau harus ada komponen pesangon, tunjangan pensiun, dll.3
Sistem efesiensi rekruitmen pekerja sistem kontrak dan outsourcing yang diperluas ini mulai marak pada tahun 2003 hingga saat ini diawali dari industri manufaktur yang memang terkenal sebagai industri padat karya, mereka secara halus dan terselubung mulai memberlakukan juga rekruitmen pekerja dengan model pocokan atau borongan. Dimana pekerja hanya dipekerjakan untuk waktu tertentu saja ketika perusahaan melimpah ordernya, namun ketika sudah sepi biasanya mereka dihentikan. Dan untuk ini kemudian dibuat kontrak-kontrak kerja dengan pekerja yang bersangkutan atau melalui industri-industri kecil yang mengambil pekerjaan pada perusahaan induk.
Tentu saja keberadaan usaha bisnis outsourcing kini bejibun jumlahnya. Dari data tahun 2006 saja tercatat, ada 22.275 perusahaan jasa tenaga kerja dengan 2.114.774 tenaga yang memberi pekerjaan pada perusahaan lain. Pada sisi pemasok, terdapat 1.540 perusahaan pemborongan pekerjaan yang mempekerjakan 78.918 tenaga kerja dan 1.082 perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang melibatkan 114.566 buruh. Angka-angka ini di lapangan jumlahnya bisa lebih berlipat lagi ketimbang versi laporan resmi.4
PERSOALAN YANG MUNCUL
Kondisi dilapangan menunjukkan bahwa bentuk fleksibilitas ini adalah penggantian status pekerja tetap menjadi pekerja kontrak atau outsourcing yang direkrut langsung oleh perusahaan atau melalui agen-agen penyalur tenaga kerja dan bahkan dijumpai management perusahaan juga menjadi agen tenaga kerja tersebut. Berbagai persoalan mulai muncul, dari penggunaan outsourcing di bagian produksi yang sebenarnya dilarang oleh UUK No.13/2003, hak-hak pekerja kontrak dan outsourcing semakin tidak jelas, periode kontrak kerja mulai keluar dari aturan perundangan sebagai contoh ; kontrak kerja dibuat mingguan, bulanan dan bahkan ada yang bertahun-tahun kerja di satu perusahaan tetapi status kerja kontrak, pemutusan hubungan kerja secara tiba-tiba dan kecenderungan tanpa memberikan hak PHK, bahkan pekerja kontrak dan outsourcing sulit mendapatkan kebebasan dalam berserikat pekerja.
Hak-hak pekerja kontrak dan outsourcing terus digerus dan menutup kesempatan menjadi pekerja tetap. Selain menaburkan kecemburuan sosial antar pekerja tetap dan kontrak, pekerja kontrak itu sendiri juga dihadapkan persoalan kepastian kerja, dimana setiap pekerja menggunakan berbagai cara untuk dapat diperpanjang kontraknya sehingga dampaknya dapat menimbulkan rasa stres karena setiap saat memikirkan apakah kontraknya diperpanjang ataukah tidak. Selain itu juga akan berdampak pada hilangnya jaminan kesehatan, pensiun, kenaikan upah, jenjang karir, dan lainnya. Pekerja yang semula berstatus pekerja tetap, berangsur-angsur diubah menjadi pekerja kontrak. Beberapa cara digunakan untuk mensukseskan pelaksanaan sistem, misalnya melakukan PHK dengan diiming-imingi pesangon, bahkan tak jarang pekerja ditekan dengan menggunakan upaya kriminalisasi agar menerima syarat-syarat PHK.
Dampak yang lebih besar akan sangat terasa barikat Pekerja. Bagaimana mereka mau berserikat dan menuntut peningkatan kesejahteraan kepada pengusaha, sementara disisi yang lain mereka harus berpikir untuk menjalankan kewajibannya dalam bekerja agar kontraknya diperpanjang lagi.
Sistem kerjgi perjuangan Serikat Pekerja, dimana semakin menjamurnya sistem kerja kontrak dan outsourcing ini akan berpengaruh terhadap masa depan gerakan Serikat Pekerja karena tidak ada kaderisasi dan keberanian pekerja untuk membentuk dan menjadi pengurus Sea kontrak dan outsourcing sesungguhnya dapat diartikan sebagai upaya pelemahan terhadap Serikat Pekerja. Pelemahan Serikat Pekerja yang dilakukan secara sistematis melalui fleksibelitas hubungan kerja dalam bentuk hubungan kerja kontrak dan outsourcing sehingga membawa efek berkurangnya pekerja tetap (anggota Serikat Pekerja) yang menjadi kekuatan dalam gerakan Serikat Pekerja selama ini.
Berbagai dampak yang tidak baik dari adanya sistem kerja kontrak dan outsourcing ini menunjukkan bahwa pelemahan Serikat Pekerja sebenarnya sudah disadari, dan bahkan diharapkan oleh para pendukung konsep pasar kerja fleksibel. Sehingga bertentangan dengan asumsi bahwa fleksibelitas menciptakan kesempatan kerja baru di sektor formal yang melindungi pekerja. Didalam konsep pasar kerja fleksibel ternyata peranan dan fungsi pemerintah dalam melindungi tenaga kerja juga dikurangi dan digantikan oleh fungsi mekanisme pasar kerja.
Dalam kondisi semacam ini institusi perlindungan pekerja tetap diperlukan, dimana fungsi pemerintah dalam hal ini adalah Disnakertrans untuk dapat melakukan pengawasan dan ketegasan pemberian sanksi terhadap para pelaku pelanggaran UU Ketenagakerjaan No.13/2003 khususnya pengguna pekerja kontrak dan outsourcing. Selain itu Serikat Pekerja bekerja lebih keras lagi untuk membangun kesadaran dan solidaritas pekerja untuk mensikapi kebijakan-kebijakan yang berdampak buruk terhadap pekerja, termasuk saat ini Serikat Pekerja menolak rencana revisi UU Ketenagakerjaan No.13/2003 yang salah satu pasal didalamnya mengatur tentang sistem kerja kontrak dan outsourcing yang semakin merajalela dan tidak ada batasannya.

* * *

2 komentar:

  1. System kontrak dan outsourcing dihapuskan...

    BalasHapus
  2. Sistem kontrak merugikan pekerja/buruh dan masa depan anak cucu kita.

    BalasHapus