Selamat datang di KSPN Kota Semarang

Dewan Pengurus Daerah Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (DPD FKSPN) Kota Semarang

KSPN CENTER
Perum Green Aryamukti Residence
Jl. Aryamukti Timur No.07 Pedurungan, Semarang
E-mail : kspnkotasemarang@gmail.com,
Nomor bukti pencatatan : 30 / 251 / OP.CS / 17 / VIII / 2014
Rekening DPD FKSPN Kota Semarang : BRI Cabang Brigjen Sudiarto , No.rek : 0435-01 003229 53 7

Rabu, 17 November 2010

Artikel ; “ SEMARANG SETARA “ BISA DIAWALI DENGAN MELAKUKAN PERBAIKAN UPAH BAGI BURUH DI KOTA SEMARANG

Oleh : Heru Budi Utoyo

Perlindungan bagi setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesungguhnya sudah diamanahkan dalam UUD 1945, begitupun juga perlindungan bagi Pekerja/buruh sebagai bagian dari warga Negara Indonesia yang telah memberikan kontribusi yang begitu besar terhadap Negara tercinta ini, dan perlindungan tersebut telah tertulis didalam Undang – Undang Ketenagakerjaan (UU No.13 Tahun 2003) yang mengatakan bahwa “ setiap Pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Namun kenyataannya berbeda, bahwa hingga saat ini penghidupan yang layak yang diimpi-impikan oleh seorang Pekerja/buruh belum juga dapat terwujud. Betapa tidak, bahwa upah yang diterima oleh seorang Pekerja/buruh hingga saat ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hidup secara layak bagi dirinya dan keluarganya, selalu saja terhalang oleh kebijakan – kebijakan dan kondisi kondisi yang kurang berpihak kepadanya. Seorang Pekerja/buruh untuk bisa hidup secara layak idealnya mendapatkan upah yang disesuaikan dengan standar kelayakkan hidup secara riil, tetapi fakta berkata lain bahwa dalam menentukan kelayakan hidup seorang Pekerja/buruh harus bergantung pada hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang diatur didalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 17/2005 tentang komponen Pelaksanaan Tahapan Pencapaian kebutuhan hidup yang layak, dan ironisnya pencapaian KHL nya pun masih jauh dari harapan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi seorang Pekerja/Buruh.
Persoalan penetapan KHL
Terkait dengan penetapan KHL yang dilakukan oleh Dewan pengupahan Kota Semarang setiap tahunnya, selalu saja memunculkan polemik diantara Pengusaha, Pekerja/buruh dan Pemerintah. Hal itu terjadi dikarenakan masih terdapat berbagai persoalan yang mendasar dan belum terjawab oleh masing-masing pihak. Maka sangat wajar apabila seorang Pekerja/buruh mempertanyakan tentang keabsahan penetapan KHL yang dijadikan sebagai dasar dalam penentuan Upah Minimum Kota ( UMK ) di Kota Semarang dan menuntut adanya perbaikan terhadap persoalan-persoalan tersebut.
Pertama, tentang mekanisme survey dan item-item yang ada di dalam Komponen Permenakertrans No.17/2005 yang sesungguhnya belum dapat mengakomodir kebutuhan hidup secara riil bagi seorang Pekerja/buruh. Mestinya kebutuhan hidup layak bagi seorang Pekerja/buruh dapat terpenuhi apabila mencakup pemenuhan kebutuhan makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, tabungan dan kebutuhan sosial yang disesuaikan dengan kebutuhan riil bagi seorang Pekerja/buruh secara nyata. Dalam kajian dan survey kebutuhan riil bagi Pekerja/buruh yang pernah dilakukan di Kota Semarang menyebutkan bahwa seorang buruh dapat hidup secara layak apabila dapat terpenuhinya 67 item kebutuhan riil, sedangkan didalam Permenakertrans No. 17/2005 baru terdapat 46 item kebutuhan bagi seorang Pekerja/buruh. Artinya, bahwa komponen KHL yang ada didalam Permenakertrans No.17/2005 yang digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan upah (UMK) hingga kini hanya mampu memenuhi 62 % dari kebutuhan hidup seorang Pekerja/buruh saja, sedangkan kekurangan 38 % kebutuhan lainnya, maka seorang Pekerja/buruh harus bekerja lagi untuk tambahan atau kerja sampingan, menggabungkan penghasilan dengan isteri/suami atau keluarga, menekan biaya pengeluaran, mengejar lemburan dan bahkan berhutang dahulu untuk dapat menutup kebutuhan hidupnya.
Kedua, Upah yang diterima oleh Pekerja/buruh hingga saat ini masih berkutat pada upah minimum yang menggunakan standar kebutuhan pekerja/buruh dengan berstatus lajang, sedangkan fakta yang ada bahwa 52 % Pekerja/buruh adalah berstatus sudah berkeluarga dan andaikan saja Pekerja/buruh itu berstatus lajang, maka kebutuhannya tidak hanya untuk menghidupi dirinya sendiri tetapi juga mempunyai tanggungan selain dirinya. Selain itu juga dalam pelaksanaan survey dan penetapan KHL yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan telah dilaksanakan pada tahun ini, tetapi digunakan sebagai dasar penetapan UMK untuk tahun berikutnya tanpa mempertimbangkan adanya laju insflasi pada tahun yang akan datang.
Ketiga, adanya konversi minyak tanah ke gas yang digunakan survey menyebabkan turunnya nominal KHL pada tahun ini, sedangkan dasar penggunaan konversi tersebut masih terdapat persoalan tersendiri sehingga patut dipertanyakan keabsahannya. Konversi minyak tanah ke gas yang didasarkan atas surat edaran dari Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial No.B.149/PHIJSK/III/2010 tentang Konversi Kompor Minyak Tanah ke Kompor Gas dengan masa penggunaan (life time) selama 36 bulan / 3 tahun tersebut sangat berbeda dengan kesepakatan yang diambil oleh Dewan Pengupahan Propinsi Jawa tengah yang merumuskan penggunaan Kompor Gas lengkap dengan regulator dan selangnya dengan masa selama 60 bulan / 5 tahun, padahal pada kenyataannya seorang Pekerja/buruh yang menggunakan Kompor Gas sering mengganti selang dan regulatornya maksimal antara 1-2 tahun saja karena takut tabungnya meledak akibat selang atau regulator bocor. Dan mestinya sebelum ada revisi yang jelas terhadap item-item yang sudah tidak relevan yang terdapat di Permenakertrans No.17/2005, maka Dewan Pengupahan tetap menggunakan dasar Permenakertrans No.17/2005 tersebut tanpa mengganti item-item apapun dalam melakukan survey KHL pada tahun 2010 ini.
Harapan Semarang Setara
Kota Semarang merupakan barometer upah di Jawa Tengah yang sudah merealisasikan UMK sebesar 100% KHL, walaupun angkanya belum mencerminkan angka riil kelayakan bagi kehidupan seorang Pekerja/buruh, namun setidaknya proses pentahapan pencapaian kebutuhan hidup layak di Kota Semarang sebagaimana diatur didalam Permenakertrans No. 17/2005 sudah dilaksanakan. Kebijakan upah di Kota Semarang tidak terlepas dari pengaruh Walikota Semarang sebagai pihak yang dapat mengusulkan besaran UMK kepada Gubernur Jawa Tengah. Kini Kota Semarang telah dipimpin oleh Walikota yang baru terpilih pada Pilwalkot Semarang tahun 2010 dengan slogannya “ Semarang Setara ” yang diharapkan dapat setara dengan Kota-kota Besar lainnya di Jawa dengan cara melakukan pengentasan penganguran, penanggulangan rob/banjir, peningkatan infrastruktur, perbaikan pelayanan masyarakat, kesetaraan gender dan jaminan kesehatan yang layak menjadi prioritas kerja. Namun demikian program “ Semarang Setara” tersebut belum lengkap tanpa adanya tindakan dari Walikota Semarang untuk berani membuat kebijakan dalam melakukan perbaikan system pengupahan saat ini, untuk mengejar ketertinggalan Upah Pekerja/buruh di Kota Semarang terhadap Upah Pekerja/buruh dikota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung, Jakarta dan Banten yang sudah merealisasikan UMK diatas Rp.1 juta.
Perbaikan Upah Pekerja/buruh sangatlah penting dilakukan oleh walikota Semarang, mengingat bahwa Presiden juga pernah menjanjikan akan menaikan gaji pokok PNS/TNI/POLRI sebagai upaya memperbaiki kesejahteraan (lihat Suara Merdeka 18/8/2010). Jika saja kenaikan gaji PNS pangkat terendah dari Rp.1.895.000,- menjadi Rp.2.000.000,- TNI/POLRI dengan pangkat rendah dari Rp.2.505.200,- menjadi Rp.2.625.000,-, maka hal tersebut akan memicu meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi pada rakyat sebagai dampak dari kenaikan gaji PNS/TNI/POLRI yang akan berdampak pula terhadap melambungnya harga-harga kebutuhan hidup rakyat. Bayangkan saja apabila tidak ada perbaikan system pengupahan bagi Pekerja/buruh saat ini, bagaimana mungkin Pekerja/buruh dapat menutup kebutuhan hidup mereka, dan mungkinkah suasana kondusif akan terjaga guna mewujudkan “ Semarang Setara ” .
Kini ditengah-tengah Perjuangan untuk mendapatkan hak-haknya secara layak, para Pekerja/buruh dan keluarganya tentunya masih mempunyai sebuah harapan. Dan harapan itu ada pada hati nurani Walikota Semarang dalam mengusulkan besaran UMK tahun 2011 dan juga ada ditangan Gubernur Jawa Tengah dalam menetapkan UMK 2011 nantinya. Slogan “ Semarang Setara “ menjadikan harapan bagi para Pekerja/buruh di Kota Semarang untuk bisa mengawali perbaikan upah bagi Buruh. Dan slogan “ Semarang Setara ” tersebut terasa hampa tanpa terpenuhinya kesejahteraan bagi masyarakat Pekerja/buruh di Kota Semarang tercinta ini.

1 komentar:

  1. Terus kalau kondisi buruh begini terus, apa yang bisa kita lakukan..? toh banyak serikat pekerja yang tidak peduli buktinya hanya SPN yang aksi.

    BalasHapus